KARAWANG, KOMPAS.com - Masuknya raksasa properti, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) melalui pengembangan skala kota Summarecon Emerald Karawang, menyusul PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) dengan Grand Taruma Karawang mengonfirmasi kawasan ini punya potensi.
Baca: Dalam 3 Jam, Summarecon Raup Rp 260 Miliar
Karawang, menurut CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono, memang merupakan daerah potensial di koridor timur Jakarta, di luar kawasan Bekasi dan Cikarang.
Karawang semakin dilirik mengingat kabupaten ini dilintasi Jalan Tol Trans Jawa (Tol Cikopo-Palimanan), Jalan Nasional Pantai Utara (Pantura) Jawa, dan kereta api cepat Jakarta-Bandung.
"Selain itu, dekat Karawang juga bakal dibangun Bandara Kertajati, dan pelabuhan laut skala internasional baru. Hal ini yang akan mendorong Karawang potensial dan siap bersaing dengan kawasan lainnya," papar Hendra kepada Kompas.com, Senin (20/6/2016).
Itulah alasan fundamental kenapa akhirnya produk-produk properti SMRA dan APLN terserap pasar. Prospek Karawang sendiri ke depannya, kata Hendra, dirancang sebagai konsentrasi kawasan industri terpadu.
Kawasan industri terpadu, sejatinya konsep pengembangan yang sudah dicium bakal prospektif oleh para raksasa investor dan pengembang properti sejak 2014 lalu.
Bahkan, Artha Graha Network melalui PT Canggih Bersaudara dan PT Danasia, sampai bersedia menginvestasikan dana senilai Rp 1,5 triliun untuk membangun kawasan industri Artha Industrial Hills di Karawang Barat, Karawang, Jawa Barat.
Masih murah
Melihat perkembangan aktual tersebut, mudah dimafhumi jika orientasi pengembangan mulai bergeser ke Karawang.
Harga lahan yang masih terhitung murah dibandingkan Bekasi dan Cikarang juga menstimulasi penguasaan lahan oleh pengembang secara besar-besaran.
Menurut riset Colliers International Indonesia, harga lahan industrinya saja masih di bawah 200 dollar AS per meter persegi atau serentang 150 dollar AS-180 dollar AS.
Sementara harga lahan untuk huniannya, dalam catatan Leads Property Indonesia meski sudah menyentuh angka Rp 8 juta hingga Rp 9 juta per meter persegi, namun masih jauh lebih rendah dari Bekasi dan Cikarang yang sudah bertengger di angka Rp 15 jutaan per meter persegi.
Selain SMRA, APLN, Arthagraha Network, Perumnas, dan PT Wika (persero) Tbk, investor Jepang disebut-sebut berencana mengakuisisi lahan seluas 3.000 hektar untuk investasi 15 tahun ke depan.