Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Orang Kota…

Kompas.com - 25/05/2016, 22:51 WIB
Sri Noviyanti

Penulis


Di kampung, para orangtua boleh tertelan pula oleh kesibukan. Namun, anak-anak bertengkar di lapangan bisa jadi alasan untuk para orangtua bertemu. Dari urusan sungkan, tak enak, basa-basi, hingga mencari solusi bersama, bisa bermula dari urusan anak-anak.

Sebaliknya, di apartemen, tetangga bisa-bisa hanya soal nasib dapat pintu bersebelahan. Itu pun masing-masing pintu tertutup rapat. Ada puluhan pintu berderet dan berhadapan tetapi lorong di antara pintu-pintu itu lengang.

“Sebenarnya, hunian vertikal tidak selalu menjadi solusi tepat bagi keterbatasan lahan di negara-negara yang masih kental kultur guyub-nya, terutama di kalangan masyarakat menengah dan bawah,” imbuh Deddy.

Deddy menyarankan, ada perhatian serius terhadap kebutuhan psikososial, preferensi, dan gaya hidup warga di lingkungan yang akan dibangun hunian vertikal, baik oleh pengembang maupun pemerintah.

Thinkstock Ilustrasi kehidupan bertetangga di apartemen
”Kalaupun hunian vertikal tidak bisa dihindari, harus disiasati dengan penyediaan ruang publik yang cukup untuk penyaluran aktivitas warga dan pembatasan jumlah lantai. Misalnya, paling tinggi empat atau lima lantai saja,” kata Deddy.

Di Jakarta, kesadaran soal makin susutnya interaksi sosial—bahkan soal bertegur sapa dengan tetangga—itu juga sudah menjadi kesadaran publik.

Seperti dikutip Kompas pada 25 Januari 2016, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berharap bisa membangun setidaknya satu taman untuk setiap 2.500 penduduk Jakarta.

”Supaya Bapak Ibu lebih kenal dengan tetangganya, tahu situasinya, barangkali ada yang sakit, butuh bantuan modal atau kebutuhan lain, bisa segera dibantu atau dilaporkan ke pemerintah setempat,” ujar Basuki.

Hidup di apartemen pun seharusnya tidak menghalangi “naluri” untuk saling kenal dengan tetangga. Mengutip istilah Deddy, semua tinggal soal cara menyiasati situasi, tak terkecuali menyikapi dilema urusan tempat tinggal orang kota ini.

Hunian vertikal Cairnhill Nine di Singapura, misalnya, dirancang untuk menerapkan filosofi “keterhubungan”. Berlokasi di kawasan pusat bisnis ekonomi global, apartemen ini memasang slogan “Building People Building Community”, dengan seluruh bagian saling terhubung.

Harapannya, keterhubungan itu akan memperbesar peluang sesama penghuni untuk bertemu. Seringnya terjadi “kebetulan bertemu”diharapkan bisa membuka percakapan sebagai awal interaksi sosial yang lebih intensif.

Kalau sudah begitu, adegan ketuk pintu “tetangga” satu lorong apartemen pun semestinya bukan lagi hal aneh, apalagi sekadar saling bertukar senyum saat berpapasan di lorong. Gerutuan seperti punya Rindra dalam Urbanis Apartementus juga dengan sendirinya tak akan ada, kan?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau