Selain itu, kenaikan harga setiap awal pekan tersebut juga merupakan salah satu siasat dan strategi yang sangat umum dilakukan dan sudah lama berlangsung.
Tak hanya di Indonesia, juga di belahan dunia lainnya. Lebih dari itu, strategi dan besaran harga ini selalu paralel dengan hukum penawaran dan permintaan. Namun, yang jadi pertanyaan berikutnya adalah seberapa tinggi kenaikan harganya?
Menurut CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono, selama satu dekade atau kurun 2000-2010, rata-rata kenaikan harga properti adalah 10 persen.
Persentase sebesar ini terjadi di lokasi premium seperti central business district (CBD) Sudirman, CBD Thamrin, ataupun CBD Kuningan.
Jumlah itu terus meningkat hingga 20-30 persen selama tiga tahun terakhir. Sementara di kawasan non-CBD, pertumbuhan harga properti mencapai separuhnya yakni 15 persen sampai 20 persen.
"Harus diperhatikan juga, berapa lama kenaikan ini akan berlangsung. Harga yang terlalu tinggi juga berbahaya, jika ternyata yang membeli properti adalah investor bukan pemakai akhir. Kalau sampai komposisi investor mendominasi pembelian properti, akan berpotensi terjadinya 'crash'," papar Hendra.
Pertumbuhan harga juga dipengaruhi oleh intensitas pengembangan yang dilakukan developer. Mereka akan terus membangun selama ketersediaan lahan masih ada.
Plus dukungan daya beli. Selama daya beli ada, transaksi akan terus terjadi. Jadi, bukan semata karena keterbatasan pasokan.
Jika pasar tidak mengalami penetrasi signifikan alias profil pembeli adalah repeat buyer maka kondisi pasar bisa kacau. Itu sama artinya pasar diramaikan oleh investor, bukan pembeli riil.
Buat pengembang, hal tersebut memang tidak menjadi masalah, karena konsentrasi mereka bukan di situ. Bagi mereka yang penting properti laku dan habis terjual. Prinsipnya adalah selama masih bisa menaikkan harga alias "digoreng", kenapa tidak?
Kembali kepada nasib buruh tadi, apakah dengan UMP Rp 3,1 juta per bulan untuk DKI Jakarta dan nilai lebih rendah di provinsi-provinsi lainnya bisa membeli dan memiliki rumah?
"Berat kalau tidak dilakukan dengan siasat joint income (penghasilan gabungan) suami-istri. Jangankan rumah komersial, untuk rumah subsidi pun penghasilan minimal harus Rp 5 juta per bulan," ucap Head of Operations Peradaban Land Azhary Husni.
Perhitungannya begini, untuk rumah subsidi yang dibangun Peradaban Land seharga Rp 106 juta, dengan asumsi cicilan Rp 800.000-Rp 1 juta per bulan selama tenor 15 tahun, maka penghasilan calon konsumen harus minimal Rp 4 juta hingga Rp 5 juta per bulan.
"Cicilan rumah itu kan harus sepertiga dari total penghasilan. Belum lagi bicara realita yakni biaya hidup rutin saat ini seperti makan, ongkos transportasi, dan lain-lainnya yang minimal lebih dari Rp 1 juta per bulan," tambah Azhary.
Demikian halnya dengan rumah termurah di Citra Maja Raya yang hanya bisa diakses oleh mereka berpenghasilan minimal Rp 5 juta. Angsuran per bulannya saja Rp 1,5 juta, belum lagi pengeluaran rutin.