JAKARTA, KOMPAS.com - Perusahaan multifinance atau multifinansial, yang juga kerap disebut leasing mulai tergoda merambah bisnis kredit pemilikan rumah (KPR).
Mereka membidik kalangan tertentu yang kesulitan mendapatkan persetujuan KPR dari perbankan.
Banyaknya persyaratan dan dokumen yang harus dipenuhi, membuat calon debitur ini harus mundur teratur.
Untuk mengakomodasi banyaknya calon debitur seperti itu, PT Chandra Sakti Utama Leasing (CSUL Finance) secara resmi masuk ke sektor KPR dengan suku bunga 15,5 persen.
CSUL Finance yang merupakan anak perusahaan Tiara Marga Trakindo Group (TMT) menggandeng Ciputra Group untuk menyalurkan KPR di dua proyek, yakni Distrik Lavanya di CitraGrand Galesong City, Gowa, dan unit apartemen Vida View di Makassar.
Direktur Ciputra Group, Harun Hajadi, menyambut baik siapa pun yang mau membiayai konsumen yang ingin membeli properti mereka.
"Buat kami tidak ada bedanya baik lembaga keuangan perbankan, maupun non-bank seperti finance company ini. meskipun bunga yang mereka tetapkan lebih tinggi dibanding bunga perbankan," ujar Harun kepada Kompas.com, Kamis (31/3/2016).
Menurut Menurut Branch Manager CSUL Finance Wilayah Makassar, Heri Indrawanto, kerjasama ini merupakan terobosan untuk memperluas akses masyarakat ke lembaga pembiayaan KPR.
Dibanding dengan KPR perbankan, proses pengajuan KPR CSUL Finance lebih sederhana, dan cepat. Hanya butuh 7–8 hari kerja dengan dokumen dan persyaratan lengkap, calon debitur sudah bisa melakukan akad kredit.
"Kami juga menawarkan pembayaran uang muka atau down payment (DP) yang besar untuk calon konsumen yang membeli rumah kedua dan seterusnya," jelas Heri.
CSUL Finance mengenakan uang muka mulai 10 persen dengan jangka waktu kredit (tenor) hingga 10 tahun.
Pola tersebut berlaku untuk semua konsumen baik yang belum ataupun yang sudah memiliki cicilan KPR.
Alternatif pembiayaan perlu diawasi
Ekonom PT Bank Permata Tbk (PermataBank) Josua Pardede berpendapat, penyaluran KPR oleh perusahaan multifinansial merupakan alternatif pembiayaan bagi karyawan dengan penghasilan tidak tetap.
Selain itu, juga bermanfaat untuk mendukung Program Nasional Pembangunan Sejuta Rumah mengingat backlog yang terjadi dalam beberapa tahun terkahir ini sudah sebanyak 13,5 juta.
Sementara kebutuhan rumah tiap tahun sejumlah 800.000 unit per tahun dan yang terpenuhi hanya 400.000 unit.
"Tentu sebagai alternatif, mengingat persyaratan KPR dari perbankan cukup ketat apalagi jika KPR tersebut disalurkan untuk pekerja informal yang tidak memiliki pendapatan tetap," kata Josua.
Kendati demikian, KPR yang disalurkan lembaga keuangan non-bank ini memunculkan konsekuensi lain, yakni suku bunganya yang cenderung lebih tinggi dari suku bunga yang ditawarkan perbankan.
Hal ini, lanjut Josua, dimungkinkan karena minimnya source of fund atau sumber dana yang menyebabkan perusahaan multifinansial perlu mendapatkan funding dari penerbitan obligasi korporasi atau pinjaman dari perbankan.
"Meskipun perusahaan multifinance sudah diberi kesempatan untuk menyalurkan KPR tersebut, saya pikir regulator juga perlu memberi pengawasan terhadap perusahaan seperti ini. Jangan sampai di kemudian hari menjadi insolvent dan bangkrut," terang Josua.