"Orang kaya dan jadi investor dadakan itu ada seperti di wilayah Kalimantan, Sulawesi. Waktu itu mereka borong properti secara tunai yang tidak sesuai dengan kebutuhannya," ujar Aviliani dalam diskusi Property & Mortgage Summit 2016, di Ritz Carlton Kuningan, Jakarta, Jumat, (19/2/2016).
Mereka memborong properti, khususnya apartemen, bisa sampai satu lantai sekaligus. Motivasi mereka adalah untuk berinvestasi, karena bisnis properti selalu dianggap menguntungkan.
Nah, ketika bisnis properti melambat seiring pelemahan ekonomi seperti saat ini, mereka kewalahan dalam mengeluarkan biaya bulanan untuk perawatan properti yang dimilikinya.
Karena tidak mampu membayar biaya perawatan bulanan, itulah akhirnya mereka kelabakan. Dijual tak ada yang mau beli, dipertahankan tak sanggup membiayai ongkos perawatan.
Di sisi lain pasar sewa dan seken pun ikut menurun. Akibatnya bisnis properti menjadi over supply.
"Karena dia butuh, dia juga ga mau harganya turun dong kalau dijual, karena yang punya enggak mau jual murah, yang beli juga enggak mau beli mahal," kata dia.
Indeks harga
Oleh sebab itu, menurut Aviliani, sebetulnya perlu ada lembaga yang bisa menentukan indeks harga agar tidak terjadi kondisi "bubble".
Kebutuhan tidak hanya sandang dan pangan, tapi papan atau tempat tinggal merupakan sesuatu yang perlu diatur oleh pemerintah. Terkait ini Aviliani tengah mencari siapa yang bisa menentukan indeks harga.
"Jadi ini masih ada waktu, sebelum ada lagi kejadian seperti ini. Paling tidak harus ada yang mengatur indeks harga, terserah mau dari mana," tandas dia.