JAKARTA, KOMPAS.com - Tak seperti investor properti asal Jepang yang cenderung konservatif dan dapat diprediksi, investor asal China menganggap kultur bisnis di negaranya hampir mirip dengan Indonesia.
Karena itu, investor China akan menunjukkan kekuatan sejak masa pra pembangunan (membeli lahan, mengurus perizinan, dan berhubungan dengan pemerintahan), hingga properti tersebut selesai dibangun.
Kingland Group, contohnya. Pengembang yang baru saja melakukan pra peluncuran Kingland Avenue Apartment di Serpong, ini mengantongi kepemilikan lebih dari 51 persen dari kolaborasi dengan PT Alfa Land, dan Growth Steel Group.
"Kami mayoritas, dan punya kekuasaan untuk menentukan langkah dan strategi bisnis dalam membangun Kingland Avenue Apartment," ujar Managing Director Kingland Group Timothy Chang, kepada Kompas.com, Rabu (17/2/2016).
Wajar bila investor China, baik kelembagaan maupun individu, melalui funding institution akan lebih memperlihatkan kekuatannya. Kekuatan dalam hal sumber daya, finansial, teknologi, dan juga tekad. (Baca: Lagi, Pengembang China Adu Peruntungan di Indonesia)
Director Investment and Development Service Colliers International Indonesia, Steve Atherton, mengatakan investor China ingin menunjukkan hegemoninya pasca rekam jejak mereka di Inggris, Amerika Serikat, dan Australia.
Steve menyebut nama pengembang raksasa China yang lebih memilih berinvestasi langsung ketimbang berkolaborasi dengan mitra lokal. Mereka antara lain adalah Wanda Group, dan Vanke Group.
"Properti yang mereka beli dan kembangkan rerata senilai 500 juta dollar AS. Dari nilai proyek sebesar itu, sejumlah 200 juta dollar AS di antaranya akan mereka pasok dalam bentuk ekuitas. Sisanya adalah pinjaman perbankan," jelas Steve.
Demikian halnya dengan Kingland Group. Dari total nilai investasi Kingland Avenue Apartment Rp 2 triliun, lebih dari separuhnya merupakan ekuitas perusahaan. (Baca: Diam-diam, Pengembang China Kuasai 200 Hektar Lahan)
Sisanya, kata Chief Marketing Officer Kingland Group Jiko Tandijono, diambil dari dana yang dibayarkan konsumen dan pinjaman perbankan.
Serbuan lebih cepat
Serbuan dana asal China, semakin intensif di pasar properti, khususnya Jakarta, melalui perusahaan pembiayaan (fund institution) ataupun pengembang dalam tiga tahun terakhir.
Sebelum Kingland Group, ada dua raksasa yakni Hongkong Land Holdings Limited, dan juga China Sonangol Land yang lebih dulu "mencengkeram" pasar properti Indoensia.
Keduanya secara agresif menancapkan cengkeraman dananya di properti-properti komersial di pusat bisnis distrik atau central business district (CBD) Jakarta.
China Sonangol Land diketahui mengakuisisi EX Plaza Indonesia, Thamrin, Jakarta Pusat, untuk dikonversi menjadi pengembangan multifungsi EX Building yang mencakup perkantoran, ruang ritel, kondominium, dan service apartment.
Selain mengakuisisi EX Plaza, China Sonangol Land juga bermitra dengan Sampoerna Group. Keduanya sepakat akan membangun dua menara baru Sampoerna Strategic Square di Jl Jendral Sudirman, dengan kapasitas area sewa seluas 234.000 meter persegi. Kedua gedung ini berdiri di atas lahan seluas 34.735 meter persegi.
Sedangkan Hongkong Land Holdings Ltd sedang gencar mengembangkan proyek residensial di BSD City, Tangerang Selatan, Banten. Proyek yang dikembangkan, selapang 68 hektar. Mereka membeli lahan dari PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE).
Sebelumnya, perusahaan raksasa kelas dunia tersebut telah berkolaborasi dengan PT Brahmayasa Bahtera, sayap bisnis properti milik Astra International. Mereka membangun sebuah proyek multifungsi yang terdiri atas apartemen (Anandamaya Residences), perkantoran, dan hotel, juga di kawasan Sudirman.
Tak puas sampai di situ, Hongkong Land berencana membangun CBD Kemayoran di Jakarta Pusat, bersama Central Cipta Murdaya Group di atas lahan seluas 44 hektar. Proyek ini digadang-gadang membutuhkan investasi senilai Rp 80 triliun.
CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono, mengatakan, kehadiran perusahaan sekelas Hongkong Land dan China Sonangol, semakin memperkuat tahbis Jakarta sebagai destinasi investasi properti utama dunia.
"Padahal, kurun lima tahun lalu, secara tradisi, perusahaan investasi ataupun pemain properti dari Hongkong dan China daratan hampir tidak pernah tertarik untuk investasi properti di Indonesia, mereka lebih cenderung membawa modal ke China daratan," ujar Hendra.
"Tentu mereka melirik Indonesia, khususnya Jakarta, karena kenyataan bahwa pangsa pasar menengah sangat besar dan potensial. Selain itu, berinvestasi properti di China juga sudah mulai jenuh dengan harga properti yang terlalu tinggi. Tapi, yang paling utama adalah properti China sudah bubble," urai Hendra.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.