Hampir 2/3 rumah tangga dengan penghasilan di bawah 30 ribu dollar AS atau senilai Rp 404 juta di New York, San Francisco, Los Angeles, dan Washington D.C menghabiskan setengah pendapatannya untuk biaya sewa.
Sarana transportasi komuter pun lebih lama. Penduduk New York, Chicago, Philadelphia, San Francisco, dan Baltimore menghabiskan rata-rata 30 menit perjalanan menuju lokasi kerjanya. Padahal, penelitian Harvard menyatakan waktu tempuh komuter sebagai faktor paling penting dalam mengentaskan kemiskinan.
"Apa yang terjadi di Beijing ini kemudian menimbulkan semacam pertanyaan provokatif, yaitu apakah kondisi tersebut bisa menjadi solusi perumahan layak dan terjangkau untuk imigran jika dirancang dan diatur lebih baik lagi?" kata Kim.
Tetapi, hal itu tidak berarti bahwa kota-kota seperti Beijing dan New York akan berubah sikap dan melegalkan unit apartemen bawah tanah. Ya, meskipun kenyataannya ada beberapa kota yang justeru melakukan hal sebaliknya.
Kim menunjukkan lewat penelitiannya bahwa orang-orang yang tinggal di apartemen bawah tanah justru putus asa karena merasa harus tinggal dekat dengan tempat kerjanya di pusat kota. Di sisi lain, kebijakan kota yang ada cenderung menempatkan perumahan murah di pinggiran kota.
"Itulah yang terjadi di negara-negara di seluruh dunia. Ini lebih murah, tapi tak ada yang mau tinggal di sana," kata Kim.
Kim menambahkan, pemerintah harus melihat para imigran dan masyarakat berpenghasilan rendah dan merencanakan perumahan terjangkau.
"Kita peru mengubah ide-ide kita tentang seperti apa kota nantinya terlihat dan juga bagaimana kita hidup bersama orang lain yang tidak beruntung mengingat mereka juga sudah berada dan tinggal di kota," tandas Kim.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.