JAKARTA, KOMPAS.com - Kalijodo tak hanya mencuatkan masalah penggusuran, dan potensi konflik sosial, melainkan juga potensi sengketa lahan antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan warga yang tinggal di sana selama berpuluh-puluh tahun.
Aksi saling klaim kepemilikan dan penguasaan lahan dilontarkan oleh para pihak yang terlibat dalam Geger Kalijodo. (Baca: Lipsus Geger Kalijodo)
Tokoh Kalijodo, Abdul Azis atau karib disapa Daeng Azis mengaku rutin membayar Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan (PBB-P2). Karena itu, dia merasa berhak untuk memiliki dan menguasai lahan yang sudah ditempatinya sekian lama.
Sebaliknya, Pemprov DKI Jakarta melalui Gubernur Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok bersikukuh Azis menyalahi peraturan dan bisa dipidana karena membeli dan menguasai tanah negara.
"Kalau dia menuntut, kami juga bisa menuntut dia. Makanya, dia suruh baca Undang-undang," kata Basuki, di Balai Kota, Selasa (16/2/2016).
Ahok mengatakan, pembayaran PBB-P2 bukan merupakan tanda kepemilikan lahan. Hal itu tercantum dalam UUPA Nomor 5/1960.
"Terus kalau kamu duduk di tanah negara itu salah, itu bisa dipidana. Apalagi kamu duduki tanah negara terus disewakan ke orang dan digunakan untuk bisnis, itu pidana," tambah Basuki.
Betulkah Azis bisa dipidana karena menduduki tanah negara, dan bagaimana pula dengan aksi Ahok yang ingin membebaskan tanah Kalijodo?
Menurut pakar hukum pertanahan dan properti sekaligus Managing Partner Leks & Co., Eddy Marek Leks, kalau memang status tanah Kalijodo merupakan tanah negara artinya belum ada sertifikasi atas nama penghuni.
Kendati demikian, Azis atau siapapun yang sudah tinggal di sana selama bertahun-tahun bisa mengajukan permohonan untuk memiliki izin berupa Hak Guna Bangunan (HGB), hak pakai (HP), dan hak-hak lainnya.
Jadi, secara terminologi hukum, tanah negara berarti tanah yang dikuasai negara dengan berdasarkan hukum UUD 1945 Pasal 33.
"Negara ini tidak bisa memiliki tanah, melainkan hanya menguasai. Setiap individu, instansi berhak mengajukan hak pakai atas tanah dengan syarat hukum tertentu," tegas Eddy, Senin (15/2/2016).
Indonesia, tambah Eddy, menganut asas pemilikan horisontal. Ini artinya tanah bisa dimiliki oleh siapa pun, sebaliknya bangunan di atasnya bisa dimiliki oleh pihak yang berbeda.
Misalnya pihak A yang memiliki tanah, tetapi bangunan justru dimiliki oleh pihak B. Ini yang sebetulnya terjadi di Kalijodo.
Dalam pelaksanaan penggusuran pun Pemprov DKI Jakarta harus membayar kerugian yang diderita oleh pihak yang digusur atau mereka yang membangun permukinan di atas tanah negara.
"Meski bangunannya ilegal, mau nggak mau Pemprov DKI Jakarta mesti bayar ganti rugi," sebut Eddy.
Eddy kemudian memetakan potensi sengketa tanah di Kalijodo. Menurut dia, tanah Kalijodo sudah lama tidak dimanfaatkan oleh Pemprov DKI Jakarta, hingga kemudian ada pihak yang masuk dan membangun permukiman serta properti komersial.
Sayangnya, kata Eddy, hal itu dibiarkan dan berlangsung selama puluhan tahun. Jadi klaim ganti rugi tetap harus dibayar oleh Pemprov DKI Jakarta karena dasar hukumnya adalah Indonesia menganut asas kepemilikan horisontal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.