Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Konsumen Jangan Mau Dibodohi Pengembang"

Kompas.com - 21/01/2016, 20:52 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Fenomena transaksi properti yang dilakukan secara tunai keras dan tunai bertahap tanpa melibatkan lembaga perbankan dinilai sangat mengkhawatirkan dan perlu diwaspadai. (Baca: Pembayaran Tunai Bertahap Bisa Jerumuskan Sektor Properti ke Jurang Bubble)

Pengembang sekarang sudah bertindak sebagai bank, menghimpun dana konsumen semaunya. Sementara konsumen melihatnya sebagai kemudahan pembayaran.

Padahal ada banyak risiko yang harus dihadapi jika konsumen membayar properti inden kepada pengembang.

Presiden Direktur Keller Williams Indonesia, Tony Eddy, mengutarakan pendapatnya terkait fenomena promosi pembayaran tunai dan tunai bertahap tanpa bunga yang dilakukan pengembang kepada Kompas.com, di Jakarta, Kamis (21/1/2016). 

Menurut Tony, risiko tersebut antara lain adalah maladesain, malamanajemen keuangan, dan malamanajemen proyek. 

Maladesain dimungkinkan ketika proses pembangunan properti berjalan, ada kesalahan desain dan harus direvisi demi keselataman dan keamanan bangunan properti.

"Hal ini berpotensi menghentikan proyek properti yang sedang dibangun. Sementara uang konsumen kadung masuk ke kantong pengembang," cetus Tony.

Sementara malamanajemen keuangan berpotensi terjadi ketika pengembang tidak menerapkan good finance governance.

Bagi pengembang dengan tata kelola modern sekalipun, atau bahkan sudah go public, kekeliruan pengelolaan keuangan masih bisa terjadi.

Uang konsumen bisa digunakan untuk ditanamkan di instrumen investasi lain yang tidak diinformasikan secara terbuka.

Lebih parah lagi, jika instrumen investasi tersebut membawa kerugian, maka uang konsumen bisa raib tanpa jejak.

Sedangkan malamanajemen proyek terjadi karena pengembang tidak bisa membuat jadwal pasti pembangunan proyek, sehingga serah terima kunci berpotensi mundur. 

"Kalau sudah demikian, ujung-ujungnya konsumen jadi korban. Karena itu, konsumen jangan mau dibodohi pengembang. Pemerintah harus mengawasi dan mengatur ini," kata Tony.

Betapa tidak harus diwaspadai, mengutip catatan Colliers International Indonesia, dari total 12.490 unit apartemen yang dipasarkan sepanjang 2015 lalu, 74 persen di antaranya dibeli secara tunai dan tunai bertahap.

Thinkstock Ilustrasi
Sementara pembelian apartemen dengan menggunakan fasilitas kredit pemilikan apartemen (KPA) hanya 26 persen.

Padahal, menurut Division Head Secured Loan OCBC NISP, Veronika Susanti, skema pembiayaan seperti itu merupakan bola liar dan dapat menimbulkan risiko tinggi bagi perekonomian Indonesia.

"Praktek-praktek menghimpun dana konsumen melalui tunai bertahap kepada developer, berpotensi menjerumuskan sektor properti ke dalam kondisi bubble. Kalau tidak segera diantisipasi, bubble tidak bisa ditahan," papar Veronika.


LTV

Transaksi properti secara langsung antara konsumen dan pengembang sejatinya dipicu oleh pemberlakuan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value terutama terkait penghapusan kredit pemilikan rumah (KPR) inden.

PBI menyebabkan pengembang baru bisa menjual properti setelah 100 persen bangunan selesai. Inilah yang memberatkan, terlebih bagi pengembang yang konstruksi finansialnya tidak kuat.

www.shutterstock.com Ilustrasi.
Wajar bila akhirnya, banyak pengembang menyiasati turunnya penjualan ini dengan sejumlah skema pembiayaan yang memudahkan konsumen membeli properti. Satu di antaranya adalah menerapkan skema tunai bertahap selama waktu tertentu.

Dalam catatan Kompas.com, salah dua pengembang yang menerapkan skema pembiayaan tunai bertahap adalah PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) dan PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN).

Keduanya menerapkan skema pembiayaan tunai bertahap selama masing-masing maksimal 36 kali dan 46 kali pada tahun lalu.

Dengan gimmick seperti ini, penjualan APLN terbantu. Selama masa pameran REI Expo 2015 di JCC pada 14-22 November 2015, APLN bahkan mampu meraup penjualan 45 unit dengan nilai total Rp 100 miliar.

Dari total unit yang terjual itu, 65 persen penjualan di antaranya melalui skema tunai bertahap.

"Escrow account"

Seharusnya, lajut Tony, pemerintah mengawasi praktek-praktek seperti ini dengan cermat. Lebih bagus lagi menerbitkan regulasi yang melarang pengembang menghimpun dana konsumen sebelum proyek propertinya terbangun.

"Kita harus mengadopsi negara-negara maju macam Singapura, Malaysia, Australia, Inggris atau Amerika Serikat. Di negara-negara tersebut perbankan tidak akan mengucurkan kredit konstruksi jika progres pembangunan belum mencapai persentase tertentu," terang Tony.

www.shutterstock.com Ilustrasi investasi
Bahkan, mereka membetuk escrow account atau semacam perjanjian legal terkait keuangan atau barang, yang disimpan oleh pihak ketiga sementara menunggu isi kontrak dipenuhi.

Jika pun isi kontrak sudah dipenuhi, imbuh Tony, bank atau pihak ketiga tersebut tidak serta merta mengucurkan dana konsumen ini seluruhnya 100 persen.

Melainkan hanya 90 persen, sisanya 10 persen dimanfaatkan sebagai dana cadangan untuk mengantisipasi bila terjadi kerusakan atau malafungsi properti yang sudah terbangun.

 


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau