JAKARTA, KOMPAS.com - Kontrak konstruksi merupakan salah satu yang rawan memunculkan sengketa antara pengguna jasa dan konstruktor. Hal ini disebabkan sering munculnya perbedaan interpretasi kedua belah pihak terkait kontrak yang sudah dibuat.
"Kalau dulu faktornya adalah pembebasan tanah yang terlambat, semua tahu itu. Sekarang lambatnya keputusan pengguna jasa karena ketakutan terhadap klaim sengketa," kata Sekretaris Badan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi Indonesia (BADAPSKI), Sarwono Hardjomuljadi, di Jakarta, Jumat (9/10/2015).
BADAPSKI kemudian muncul sebagai sebuah badan arbitrase yang secara khusus menangani masalah sengketa konstruksi. BADAPSKI nantinya akan memberikan alternatif penyelesaian sengketa konstruksi dengan mengedepankan aturan-aturan yang lazim digunakan dalam dunia konstruksi.
"BADAPSKI ini spesialis konstruksi, khusus konstruksi, kenapa? Kan lebih enak kalau sama orang-orang yang sudah terjun di konstruksi. Jadi lebih tahu masalahnya. Karena begini, kontrak konstruksi nggak sama dengan kontrak yang lain. Kalau kontrak yang lain seperti kontrak rumah atau kontrak mobil barangnya utuh kan. Nah kalau kontrak konstruksi itu dari tidak ada menjadi ada kan, nah itu bedanya," jelas Sarwono.
"Semua sengketa boleh dan nggak terpaku kontrak, mau kontrak besar atau kecil, risikonya sama. Justru kita mau masuk sampai ke bawah karena kalau nggak, kasihan yang bawah-bawah itu," ucap dia.
Sarwono juga menambahkan bahwa dalam penyelesaian masalah sengketa, BADAPSKI akan dibantu oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Ini sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 192 Tahun 2014 yang menyatakan BPKP memiliki tugas untuk ikut menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara atau daerah dan pembangunan nasional.
Saat ini BADAPSKI mengklaim sudah mendapatkan banyak laporan tentang sengketa konstruksi. Namun, Sarwono enggan memberikan jumlah pasti dan siapa saja yang terlibat sengketa konstruksi tersebut.