Kelompok-kelompok ini, kata Rina, sudah menyadari pentingnya sanitasi. Selama ini, kurang sekali kehadiran pemerintah untuk bisa membangu, dan mendorong kualitas sanitasi yang lebih baik lagi, yaitu membangun jaringan pipa.
Sanitasi layak yang sudah terbangun ini, atau di luar angka 3 persen, tidak menggunakan pipa. Kebanyakan menggunakan septic tank atau dikubur di kebun. Rina melanjutkan, perpipaan melindungi air tanah, agar tidak tercemar tinja.
Namun, dia mengakui, membangun pipa tidaklah mudah dan murah. Perlu upaya khusus terkait lahan yang kini juga terbatas. Hal yang baru bisa dilakukan sejauh ini adalah pemilik rumah secara individu menelepon jasa sedot tinja atau sedot WC. Namun, tindakan menelepon jasa ini juga dinilai masih kurang karena tidak dilakukan secara rutin.
Menurut Rina, tinja yang berwujud lumpur, tetap harus diolah menjadi sesuatu hal yang bernilai. Di beberapa daerah, banyak upaya mengolah lumpur tinja, antara lain menjadi bahan bangunan, material, dan keperluan pupuk.
"Kalau tidak diolah, sama saja buang air besar (BAB) sembarangan. Tinja itu hanya jalan-jalan di pipa. Mengalir ke alam mana, tidak tahu," sebut Rina.
Namun, karena membangun jaringan perpipaan masih sulit, kata dia, pemerintah akan fokus untuk menyediakan akses sanitasi layak terlebih dahulu. Untuk menjaga lingkungan dan kesehatan, pemerintah menargetkan 100 persen akses sanitasi layak pada 2019.