"Selain harus dalam penyediaan tanah, ATR harus fokus pada pengendalian dan inovasi dalam menata arah perkembangan di sepanjang koridor maupun kawasan penyangga (hinterland)-nya," tandas Bernardus.
Masalahnya, pemerintah belum punya formulasi tata ruang Jawa yang berbasis pada pertambahan nilai keekonomian, pengembangan kawasan-kawasan prioritas, dan skenario perencanaan yang komprehensif.
Kendati demikian, paling tidak Kementerian ATR, melalui Direktur Jenderalnya harus segera menentukan arah kebijakan ini. "Sampai saat ini, belum terlihat kementerian ATR fokus ke sini," cetus Bernardus.
Kementerian ATR harus mengantisipasi, akan banyak bermunculan kutub pertumbuhan dan areal urban baru yang dipicu oleh konektivitas ini. Pada saat yang sama beberapa daerah di luar koridor akan berisiko tergentrifikasi dan tidak berkembang.
Untuk itu, dibutuhkan bukan sekadar jargon pengendalian, namun jajaran Kementerian ATR harus dapat melakukan terobosan tentang pola ruang dan arah perkembanganPulau Jawa. Kementerian ATR juga harus mampu merencanakan dengan apik keterpaduan moda baik tol, kereta, pelabuhan dan bandara di Pulau Jawa untuk memberikan ruang layak hidup bagi 120 juta lebih penduduknya.
"Sekarang ini, saya ragu apakah mereka sudah memikirkan ini, skenario 30 tahun ke depan," sebut bernardus.
Karena itu, jajaran Kementerian ATR tidak bisa berpangku tangan. Yang penting dalam perencanaan harus visioner dan menjangkau horizon masa depan hingga 50-100 tahun ke depan.
"Legalitas tanah penting, tapi agenda reforma dan perencaan adalah keniscayaan. Pemerintah perlu jalan di depan untuk mengarahkan segenap potensi swasta," pungkas Bernardus.
Berikut video perjalanan tim Kompas.com, menyusuri Tol Cikopo-Palimanan: