Perlambatan ekonomi yang hanya berkisar 4-4,5 persen, depresiasi Rupiah terhadap dollar AS yang sempat menyentuh level Rp 13.400, kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak jelas serta aturan perpajakan yang membebani, dituding sebagai penyebab pasar properti semakin lesu.
Begawan properti Indonesia sekaligus pendiri imperium Ciputra Group, Ciputra mengatakan, meski tak seburuk kondisi tahun 1998, namun situasi sekarang harus disikapi dengan hati-hati.
"Properti sudah terkoreksi, perkantoran kelebihan pasokan (over supply). Kita harus berani melakukan inovasi-inovasi baru dan bila perlu lakukan efisiensi," tutur Ciputra kepada Kompas.com, usai acara CNBC Managing Asia, di Hotel Kempinski, Kamis (11/6/2015).
Menurut Ciputra, dengan melakukan inovasi dan terobosan baru, diharapkan rasionalisasi karyawan atau pun pemangkasan ongkos produksi (cutting cost) tidak terjadi. Oleh karena itu, para pengembang harus jeli sekaligus mau kerja keras agar sektor ini tetap berjalan.
Pasalnya, "Koreksi akan terjadi hingga akhir tahun ini," tandas Ciputra.
Hal senada dikemukakan Country Head Knight Frank Indonesia, Wilson Kalip. Menurutnya, sektor properti bakal anjlok hingga 40 persen sampai Desember 2015. Sinyalemen ini sejatinya sudah terjadi sejak kuartal pertama 2015.
"Saat itu penurunan penjualan sudah terjadi sekitar 15 persen. Kita bisa lihat, kalau sektor otomotif saja merosot 20 persen, properti akan jatuh lebih dalam lagi. Saya perkirakan sekitar 40 persen," ujar Wilson.
Jika hal ini terus berlanjut tanpa ada langkah terobosan dari Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), potensi lebih buruk lagi akan terjadi. Wilson kemudian mengungkapkan, turunnya penjualan ini akan berdampak pada 130 industri terkait seperti semen, keramik, baja, besi, cat, saniter, jasa broker, jasa konsultan, dan lain-lain.
"Kalau penjualan turun, pendapatan perusahaan pun turun. Lantas siapa yang mau membayar kontraktor dan pemasok material bangunan? Ini sangat tergantung pada Pak Presiden Jokowi. Properti sekarang sudah lampu kuning," cetus Wilson.
Stop produksi
Salah satu pengembang raksasa yang mencatat penurunan adalah PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN). Raja apartemen dengan 50 portofolio properti, ini tak mampu menorehkan kinerja secemerlang tahun lalu. Properti imperium bisnis yang dinakhodai Ariesman Widjaja ini tersebar di Jakarta, Bandung, Bali, Balikpapan, Batam, Makassar, dan Medan.
Dalam pengumuman hasil keuangan yang tidak diaudit untuk periode yang berakhir pada 31 Maret 2015, APLN hanya mampu membukukan penjualan dan pendapatan usaha sebesar Rp 995,2 miliar.
Pencapaian ini 14,6 persen lebih rendah dibandingkan dengan triwulan tahun 2014 lalu. Saat itu, APLN yang punya 36 anak usaha, 10 entitas dengan kepemilikan tidak langsung melalui anak usaha, dan dua entitas asosiasi, mencatat pendapatan senilai Rp 1,165 triliun.
Akibatnya, laba kotor turun menjadi Rp 539,3 miliar, turun 14,1 persen dari Rp 627,8 miliar. Demikian halnya dengan laba komprehensif yang jeblok 46,1 persen dari Rp 280,8 miliar menjadi Rp 151,3 miliar. Begitupula dengan laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk, merosot 65,5 persen dari Rp 295,1 miliar menjadi Rp 101,8 miliar dengan marjin 10,2 persen.
Nasib lebih buruk dialami pengembang-pengembang gurem dan menengah di Batam. Ketua DPD REI Batam Djaja Roeslim mengungkapkan, sudah ada dua pengembang yang menghentikan operasinya alias stop berproduksi.