Heroe menegaskan, masyarakat tetap harus membeli rumah tersebut. Hanya, harganya relatif lebih murah dan kemudahan pembelian karena adanya skema-skema pembiayaan yang ditawarkan oleh pemerintah, misalnya program uang muka satu persen.
Menurut Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Syarif Burhanuddin, harga rumah disesuaikan dengan pembagian zona masing-masing daerah. Harganya bervariasi mulai dari Rp 114 juta sampai Rp 165 juta. Rumah dengan harga termahal ada di Papua, karena menyesuaikan biaya pengiriman material.
Selain soal pembagian rumah, Heroe juga meluruskan anggapan bahwa program tersebut merupakan proyek pemerintah. Banyak kepala pemerintah daerah ataupun pengembang meminta "jatah" rumah. "Ini bukan proyek, tapi ini gerakan. Justru yang diperdalam, bagaimana peran pemda untuk mendorong terciptanya sistem yang kondusif," kata Heroe.
Dia kemudian mengimbau peran pemda untuk membantu program tersebut dengan memberikan kemudahan perizinan, baik lahan maupun pembangunan rumah. Hal ini bertujuan agar perumahan di daerah masing-masing bisa dilaksanakan.
Nantinya, kata Heroe, panitia acara pencanangan adalah pemda, bukan pengembang atau pun perbankan. Pemda harus bisa berperan aktif sebagai regulator perumahan di masing-masing area.
Anggapan ketiga yang juga salah, kata Heroe bahwa seakan-akan sejuta rumah hanya terjadi pada Rabu 29 April 2015. "Anggapan ini salah. Ini proses berkelanjutan, (tanggal 29 April) baru penanda dimulainya hajatan besar," tutur Heroe.
Dari sejuta rumah yang dicanangkan pemerintah, sebanyak 603.000 diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pada tahap awal pembangunan, Syarif mengaku belum bisa membangun langsung sebanyak itu.
Saat pencanangan Rabu, 29 April 2015 nanti, sebanyak 103.000 unit rumah akan dibangun sebagai tanda program tersebut mulai berjalan. Sisanya, akan dibangun secara bertahap.