Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasar Perkantoran Surabaya Kurang Menarik

Kompas.com - 17/04/2015, 14:54 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

SURABAYA, KOMPAS.com - Meskipun menyandang status sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, pasar perkantoran Surabaya dinilai masih kurang menarik. Aktivitas transaksi sewa terbatas, dan bisa dihitung dengan jari. Terlebih saat kondisi ekonomi makro sedang lesu saat ini.

Pasalnya, semua kantor pusat (head quarter) perusahaan kaliber nasional dan multinasional masih terkonsentrasi di Jakarta. Sementara di Surabaya, hanya menjadi tempat ekspansi dengan kantor cabang, atau kantor perwakilan.

Ukuran kantor yang biasa mereka sewa sekitar 150 meter persegi hingga 200 meter persegi. Jauh lebih kecil ketimbang kantor yang mereka sewa di Jakarta, dengan dimensi mencapai 5.000 meter persegi-10.000 meter persegi.

CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono, memaparkan, tidak seperti Jakarta, pebisnis Surabaya belum merasa perlu untuk berkantor di gedung tinggi dan prestisius. Meskipun lokasinya premium, dan strategis, berkantor di gedung tinggi, terutama strata, belumlah menjadi sesuatu yang lazim.

"Lagipula Surabaya tidak semacet Jakarta, jadi high rise commercial yang terkonsentrasi di satu lokasi belum terlalu krusial, dan juga pasar perkantoran masih terbatas. Saat ini perkantoran Surabaya teraglomerasi di di Jl Basuki Rachmat, Jl Embong Malang, dan Jl Pemuda sebagai pusat bisnis atau central business district (CBD)," tutur Hendra kepada Kompas.com, pekan lalu.

Tidak tepat

Hendra melanjutkan, membangun gedung perkantoran di Surabaya saat ini juga tidak tepat. Secara umum, kondisi makro ekonomi sekarang kurang mendukung. Pengusaha tentu lebih memprioritaskan bagaimana bisnisnya bisa bertahan (survive) lebih dulu ketimbang melakukan ekspansi di gedung kantor prestisius.

Kalau pun sudah telanjur memiliki rencana membangun gedung perkantoran, kata Hendra, harus disiasati melalui pengintegrasian beragam jenis dan fungsi properti (mixed use development).

Seperti yang dilakukan PT Pakuwon Jati Tbk, dengan membangun Tunjungan Plaza Office, dan PT Ciputra Surya Tbk dengan Ciputra World Office.

"Jadi, kans pembeli bisa saja datang dari pengguna akhir atau investor. Namun demikian, meski dikembangkan secara campuran, persoalan dan tantangan saat ini adalah kondisi ekonomi yang berada di luar kontrol pengembang yang sekarang sedang membangun kantor strata. Diperparah belum mature-nya pasar perkantoran Surabaya," terang Hendra.

Faktor lain mengapa tahun ini bukan saat yang tepat bangun kantor, lanjut Hendra adalah mental dan consumming behavior pengusaha Surabaya yang belum mementingkan prestige. Mereka low profile, tapi orientasi profit.

"Dengan melihat kondisi aktual, pebisnis Surabaya akan tetap memilih ruko. Dan bisa jadi investor perkantoran malah melirik berinvestasi di Jakarta daripada di Surabaya sendiri. Sama halnya dengan investor di Medan, Bandung, dan Semarang. Belum tentu mereka berinvestasi di kotanya sendiri," urai Hendra.

Hal lain yang membuat pasar perkantoran Surabaya kurang menarik adalah harga sewanya masih rendah. Harga sewa gedung perkantoran Grade B plus di CBD Surabaya sekitar Rp 180.000 per meter persegi per bulan, sudah termasuk biaya servis. Sementara di Jakarta, gedung perkantoran level setara, harga sewanya bisa mencapai Rp 300.000 per meter persegi per bulan di luar biaya servis.

Bagaimana dengan perkantoran strata? Hendra mengambil contoh Tunjungan Plaza Office Tower dan Ciputra World Office Tower. Nama pertama dibanderol Rp 36 juta hingga Rp 40 juta per meter persegi. Sementara Ciputra World Office dipasarkan mulai harga Rp 30 juta per meter persegi, dan bisa disewakan menjadi Rp 180.000 per meter persegi per bulan, termasuk biaya servis.

"Dengan harga jual yang sama, investor bisa beli perkantoran di koridor TB Simatupang dengan harga sewa lebih tinggi yakni Rp 175.000 per meter persegi di luar biaya servis sebesar Rp 50.000-Rp 75.000 per meter persegi," hitung Hendra.

Jadi harusnya target pembeli strata office Surabaya adalah pengguna akhir bukan investor. Sedangkan rata-rata pembeli kantor strata di Jakarta saja masih 50:50 antara investor dan pengguna, konon pula dengan pembeli Surabaya.

Direktur Utama PT Ciputra Surya Tbk., Harun Hajadi, tak menampik jika pangsa pasar Ciputra World Office adalah pengusaha dan pebisnis lokal yang selama ini berkantor di ruko-ruko.

"Kami tidak mau muluk-muluk membidik perusahaan multinasional. Cukup perusahaan lokal. Mereka bisa punya aset dengan membeli strata office. Sementara perusahaan multinasional biar saja di Jakarta, toh mereka menyewa juga, tidak membeli karena tak mau punya aset," tandas Harun.



Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau