Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kendalikan Harga Lahan dan Properti, Pemerintah akan Ubah Formula NJOP

Kompas.com - 06/04/2015, 19:16 WIB
Arimbi Ramadhiani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) akan meneruskan kajian tentang reformulasi Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) melalui perubahan atas Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah, dan Retribusi.

Keputusan ini merupakan hasil rapat terbatas yang dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Sekretaris Kabinet.

"Kajian NJOP merupakan pengendalian pemerintah terhadap harga tanah, yang bisa diperbarui setiap tahun," ujar Menteri ATR Ferry Mursyidan Baldan, saat jumpa pers di Kementerian ATR/BPN, Jakarta Selatan, Senin (6/4/2015).

Ferry menyebutkan, kajian ini merupakan kebutuhan agar penetapan NJOP yang berfungsi sebagai patokan nilai kebijakan atas tanah, bisa mendekati harga pasar. Sehingga pengendalian NJOP penting supaya harga tanah tidak lepas kendali.

Ia menegaskan, tanah tidak bertambah melainkan kebutuhan manusia yang berkembang. "Jadi, reformulasi NJOP adalah salah satu bentuknya agar harga tetap terkendali," kata Ferry.

Reformulasi NJOP diusulkan pada Pasal 77 ayat (4), pasal 87 ayat (3), dan pasal 87 ayat (4). Pasal 77 ayat (4) tercantum besaran Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Pada pasal ini disebutkan besarnya NJOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp 10 juta untuk setiap wajib pajak.

Sementara itu, pada Pasal 87 ayat (3) mencantumkan, jika NJOP yang dimaksud tidak diketahui, maka dikenakan NJOP PBB. Pada Pasal 87 ayat (4), menyebutkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan paling rendah sebesar Rp 60 juta.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com