Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelas Menengah Terjebak Harga Rumah, "Maju Kena, Mundur Kena"...

Kompas.com - 16/01/2015, 14:37 WIB
Latief

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Maju kena, mundur juga kena. Begitulah mengibaratkan pekerja kelas menengah di Jakarta saat ini, terutama mereka yang setingkat manajer dengan penghasilan Rp 5 sampai Rp 7 juta per bulan.

Saat ini, jika dikaitkan dengan daya beli rumah, mereka adalah kalangan menengah "tanggung". Mereka mempunyai dilema, karena untuk membeli harga rumah komersial sudah tidak sanggup, sementara untuk masuk ke skema rumah subsidi tidak memenuhi syarat. Mereka masuk dalam jebakan pasar rumah saat ini yang harganya sudah tidak terkendali.

"Dengan penghasilan itu mereka diperkirakan mempunyai daya cicil Rp 1,5 sampai Rp 2,5 juta per bulan, yang berarti dapat membeli rumah dengan harga Rp 300 sampai Rp 400 juta. Daya beli ini belum termasuk kemampuan uang muka, yang umumnya menjadi salah satu faktor penghambat merealisasikan pembelian rumahnya," kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda kepada Kompas.com, Jumat (16/1/2015).

Umumnya, Ali melanjutkan, mereka kesulitan mengumpulkan uang muka. Dengan harga rumah seperti itu, akan sulit bagi kalangan menengah ini mempunyai rumah di wilayah Jabodetabek.

"Kalaupun ada maka mereka harus memperhitungkan biaya transportasi setiap harinya untuk bekerja di Jakarta sebagai kaum komuter. Karena lokasi rumah tersebut mempunyai jarak tempuh yang jauh dari tempat mereka kerja di Jakarta. Akhirnya, yang terjadi kemudian, mereka tidak menempati rumah dan dibiarkan kosong dan kembali menyewa hunian di Jakarta," ujar Ali.

Ali mengatakan, jumlah kalangan menengah tersebut ke depan akan semakin tinggi. Di sisi lain, harga rumah semakin mahal dan pada waktunya sudah tidak dapat membeli rumah lagi meskipun di pinggiran Jakarta.

Kurang diperhatikan

Sayangnya, upaya Pemprov DKI Jakarta membangun rumah susun sederhana sewa (rusunawa) masih terbatas untuk sebagian kecil masyarakat dan umumnya masyarakat yang bekerja di sektor informal. Rusunawa tidak menjangkau kaum komuter yang notabene sebagai karyawan tingkat menengah.

Peremajaan lingkungan kumuh memang menjadi salah satu entry point bagi Pemprov DKI Jakarta untuk menyelesaikan masalah perumahan. Revitalisasi waduk yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dengan pengembangan rusunawa di atasnya merupakan terobosan untuk menjadi alternatif penyediaan hunian bagi masyarakat Jakarta.

"Tapi, seharusnya fokus tidak hanya untuk sektor informal, karena sebenarnya kaum komuter juga harus mendapatkan perhatian serius," ujar Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda kepada Kompas.com, Jumat (16/1/2015).

Seperti diketahui, dengan penduduk Jakarta l.k 10 juta orang dan akan bertambah di siang-sore hari menjadi 12–13 juta. Tambahan itu terjadi karena Jakarta merupakan kota urbanisasi yang dihuni kaum pekerja dari berbagai daerah penyangga di kawasan pinggirannya.

"Karenanya, mindset kaum urban Jakarta seharusnya berubah. Bila memang tidak sanggup membeli rusunami, paling tidak sanggup untuk menyewanya," ujar Ali.

Namun, saat ini Pemprov DKI Jakarta belum menyiapkan rusunawa untuk kaum pekerja menengah. Kondisi rusunawa yang ada saat ini pun masih jauh dari bagus.

"Artinya, kelas menengah perkotaan ini harus diperhatikan secara serius karena diperkirakan sebanyak 80 persen lebih masyarakat Jakarta ada di segmen menengah ini dan mereka terjebak antara membeli rumah atau rusunami atau menyewa di rusunawa," kata Ali.

Baca juga: Mengapa Harga Rumah tak Kunjung Turun?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com