JAKARTA, KOMPAS.com - Hampir seluruh bangunan di Jakarta berpotensi mengalami kerusakan berat, bahkan runtuh, saat dihantam bencana. Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran, baik dari pelaku konstruksi, pemilik gedung, bahkan pemerintah, dalam memperkuat dan meningkatkan kualitas bangunan gedung.
Ketua Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) periode 2011-2014, Dradjat Hoedajanto mengatakan, ia pernah berupaya untuk menyadarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang saat itu masih di bawah kepemimpinan Joko Widodo. Namun, upaya tersebut tidak berhasil.
"Kita (HAKI) pernah lapor DKI. Kami katakan ingin ketemu gubernur. Karena Jokowi sibuk, kita ketemunya Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) yang waktu itu masih jadi wakil Gubernur," tutur Dradjat kepada Kompas.com, Rabu (7/1/2015).
Kala itu, Dradjat menyampaikan bahwa ada bahaya yang mengintai gedung-gedung di Jakarta. Gedung-gedung ini berpotensi mengalami kerusakan parah jika diterjang bencana. Ahok pun bertanya pada Dradjat bagaimana mengatasinya.
"Lalu, saya harus ngapain?" kata Dradjat menirukan perkataan Ahok.
Dradjat menjawab, pemerintah bisa memberi peringatan atau membuat persyaratan terhadap pemilik gedung supaya memperkuat bangunannya. Setelah mendengar permintaan Dradjat, Ahok nyata-nyata menolak.
"Saya tidak punya kekuasaan untuk melakukan itu. Tidak ada UU untuk memaksa para pemilik memperkuat gedung," jelas Dradjat masih menirukan jawaban Ahok.
Selain itu, pejabat di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Pekerjaan Rakyat serta Dinas Teknis yang bertugas di daerah, juga masih kurang memperhatikan fungsi dan keamanan gedung.
Buktinya, sumber daya manusia sebagai peninjau masih sangat kurang jumlahnya.
"Di Jakarta Selatan, staf yang mengurusi IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan SLF (Sertifikat Laik Fungsi) hanya dua orang. Sementara setahun, ada 3.000-4.000 gedung yang harus diurus," kata Dradjat.
Menurut perhitungan dia, untuk menyelesaikan tugas mereka sebagai peninjau, paling tidak, satu orang pegawai memegang 1.000 gedung. Jika diurutkan dalam setahun terdapat 365 hari, setidaknya satu pegawai meninjau tiga gedung per hari.
"Apa mungkin peninjau bisa melakukan ini? Tidak mungkin," tegas Dradjat.
Oleh sebab itu, Dradjat menyimpulkan, masyarakat atau pengguna gedung belum bisa mengandalkan pemerintah untuk memastikan suatu gedung aman berfungsi atau tidak. Mau tidak mau, masyarakat masih harus bergantung pada kesadaran masing-masing pemilik gedung.
Celakanya, sampai hari ini, para pemilik gedung dan pengembang terus berpikir untuk membangun gedung semurah mungkin dan mengesampingkan keamanan.
"Gedung yang penting cantik dan bagus. Soal kekuatan urusan kedua.
Kalau bisa malah dikurang-kurangi (spesifikasi materialnya). Tidak kelihatan ini, dari luar gedung," jelas Dradjat.
Baca juga: Waspada, 75 Persen Bangunan di Jakarta Berpotensi Roboh!