Menurut Executive Vice President PT Indonesia Infrastructure Guarantee Fund, Emil Elestianto Dardak, pembangunan JSS yang sifatnya sangat jangka panjang tidaklah menghilangkan kebutuhan pembenahan angkutan penyeberangan dalam jangka pendek dan menengah. Menurutnya, harus dibedakan isu jangka pendek dan jangka panjang.
"JSS akan memakan waktu minimal 10 tahun untuk pembangunannya, bahkan tahap perencanaan sendiri bisa memakan waktu dua tahun lebih. Jadi, kalau ada yang mengatakan JSS baru diperlukan 10 tahun lagi, maka waktu untuk menyiapkannya, ya, sekarang ini. Kalau tidak dan baru disiapkan 10 tahun lagi, maka baru akan ada JSS itu 20 tahun lagi," tutur Emil kepada Kompas.com, Rabu (5/11/2014).
Namun demikian, Emil mengakui, pekerjaan rumah di depan mata adalah membenahi backlog penyeberangan. Pasalnya, hanya tiga dari lima dermaga di Pelabuhan Merak yang berfungsi efektif. Upaya perbaikan Merak jauh dapat lebih cepat dilakukan jika dibandingkan membangun JSS. Jadi, lanjut Emil, bukan perbandingan yang fair bahwa membangun JSS tidak menghilangkan kebutuhan membenahi masalah penyeberangan.
"Dengan lama waktu tunggu 3,5 jam menggunakan penyeberangan laut, tentunya keberadaan JSS nantinya akan mempersingkat interaksi Jawa-Sumatra menjadi hanya 30 menit, apalagi dengan adanya angkutan rel penumpang dan barang yang bersifat massal," kata Emil.
Selain itu, lanjut dia, JSS melibatkan perspektif strategis dan harus mempertimbangkan keunikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Negara-negara lain di dunia seperti Jepang, dan negara-negara Eropa, banyak membangun jembatan atau terowongan dengan tujuan meningkatkan konektivitas penumpang dan barang.
Namun, Indonesia memiliki keunikan tersendiri sebagai negara kepulauan terbesar. Jika Jepang membangun jembatan Honshu-Kyushu, itu sudah hampir menyatukan seluruh Jepang Sementara itu, jika Pulau Jawa dan Sumatra tersambung, belum menyatukan seluruh Indonesia. Pasalnya, masih ada Kalimantan, Sulawesi dan Papua sebagai pulau-pulau besar yang belum tersambung, belum lagi Nusa Tenggara dan Maluku.
"Di sisi lain, di tengah wacana Jembatan Selat Malaka sebagai pemersatu wilayah peninsula Malaya dengan Indonesia, maka JSS mutlak harus lebih dulu ada sebagai pilar kesatuan nasional. Jadi, isu JSS memang sangat strategis dan multi-dimensi," tambah Emil.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP), Bernardus Djonoputro, menganggap pembatalan pembangunan JSS merupakan langkah yang tepat. Keputusan itu sekaligus merepresentasikan ketegasan pemerintah yang akan berdampak positif terhadap peningkatan kepercayaan publik pada penegakan aturan dan arah pembangunan.
"Pengembangan dan pemanfaatan potensi kawasan di sekitar kedua ujung Pulau Jawa dan Sumatera. Kalau itu yang disasar, tetap bisa dioptimalkan dengan pengembangan moda trasportasi konektifitas yang efisien," kata Bernardus.
Untuk itu, investasi pemerintah harus diarahkan bagi membangun infrastruktur penyeberangan berupa ferry ron oll ron off (RORO) kelas dunia, dengan kapasitas mumpuni, areal pelabuhan transit yang efisien, dan manajemen penyeberangan profesional.
Poros maritim
Namun begitu, baik Emil maupun Bernardus sepakat, bahwa poros maritim harus diprioritaskan.
"Karena, saat ini memang paradigma kita berubah. Indonesia bukan lagi negara kepulauan yang dipisahkan oleh laut, melainkan pulau-pulau yang disatukan oleh laut. Hal ini penting kita sadari. Saya setuju sepenuhnya, bahwa pembenahan konektivitas maritim adalah prioritas utama," sebut Emil.
Pasalnya, lanjut Emil, konsep peningkatan efisiensi logistik kelautan dengan memfokuskan investasi kepada pelabuhan dan sarana pengangkutan laut, memiliki manfaat ekonomi sekaligus berkontribusi kepada penguatan kesatuan nasional.
"Jadi, perlu dikaji lebih mendalam apakah JSS akan menciptakan lokomotif perekonomian nasional, atau justru akan menjadi kanibalistik terhadap pembangunan di luar Jawa Sumatera," tambah Emil.
Dia berpendapat, dari sisi kekhawatiran atas ketimpangan pembangunan, konfigurasi perekonomian Indonesia tidak bisa dilihat sesederhana itu, seakan-akan Sumatera dan Jawa tidak boleh tumbuh kencang karena yang lain akan tertinggal. Harus jelas dulu, apakah ada trade-off atau pengorbanan terhadap pertumbuhan ekonomi di luar Pulau Jawa dan Sumatera jika JSS jadi dibangun.
"Ini harus dikaji dengan matang. Misalnya, apa dampak dari segi alokasi APBN, mengingat JSS konsepnya akan dominan didanai swasta, apa ada investment crowding out. Lalu, apa akan ada kanibalisme terhadap potensi ekonomi wilayah lain di Indonesia atau justru akan terwujud lokomotif perekonomian nasional," kata Emil.
Jadi, menurut Emil, pemerintah tak perlu membatalkan JSS secara tergesa-gesa. Sebaliknya, pemerintah seharusnya mengkaji lebih mendalam konfigurasi perekonomian nasional yang memadukan konektivitas intra-pulau dengan konektivitas antar-pulau (maritim), termasuk dampak ekonomi, sosial maupun politik, pertahanan dan keamanan dari keberadaan JSS itu sendiri nantinya.
"Dalam membuat perencanaan pembangunan, seyogyanya kita harus melihat jauh 25 tahun ke depan, dan bukan dalam kerangka waktu satu sampai lima tahun saja," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.