Menurut lembaga nirlaba Shelter, statistik ini memaksa dilakukannya tindakan keras terhadap generasi yang disebut sebagai "sayap terpotong" untuk melepas ketergantungan mereka. Selain itu, pemerintah harus proaktif membangun hunian khusus yang layak dengan harga terjangkau.
Sarah, contohnya. Perempuan yang bekerja di perusahaan iklan online selama 10 tahun ini masih hidup dan tinggal di rumah orangtuanya di Croydon. Dia kesulitan membeli rumah karena harganya melonjak "gila-gilaan" sehingga uang yang ditabungnya setiap bulan tak akan pernah mencukupi.
"Saya berusaha sangat keras untuk menabung dan membeli rumah sendiri, tetapi harga rumah di sini ibarat roller coaster yang terus bergerak naik. Jika saya pindah sekarang, saya akan dihadapkan pada harga sewa yang mahal. Oleh karena itu, saya beruntung memiliki pekerjaan dan rumah orangtua untuk ditumpangi, tetapi kenyataan bahwa dalam usia setua saya belum memiliki rumah, sangat menyedihkan," papar Sarah.
Chief Executive Shelter, Campbell Robb, mengatakan, "generasi sayap terpotong" ini tidak punya pilihan lain selain tetap hidup dan tinggal dengan ibu dan ayah sampai dewasa, seiring mereka berjuang agar mampu membeli rumah sendiri.
"Daripada menyalurkan bantuan dengan skema 'Help to Buy', kami lebih memerlukan tindakan berani yang dapat memenuhi permintaan akan rumah layak terjangkau, bukan membeli rumah dengan harga tinggi. Itulah solusi yang mereka butuhkan, yakni rumah murah sesuai dengan daya beli," ujar Robb.
Sebelumnya diberitakan, menteri perumahan Inggris, Brandon Lewis, menerbitkan kebijakan bantuan pembelian rumah dengan skema "Help to Buy". Hingga saat ini, bantuan yang telah disalurkan sebanyak 35.000 orang.
"Skema ini juga dapat membantu membangun rumah baru dan meningkatkan pasokan perumahan yang dikembangkan swasta sebesar 34 persen. Kami berinvestasi 1 miliar poundsterling (Rp 19,6 triliun) melalui skema 'Build to Rent' untuk rumah sewa swasta," ungkap Lewis.