Sayangnya, Basuki tidak secara spesifik menyebutkan pengembang yang masih menunggak kewajiban menyediakan fasum dan fasos tersebut. Basuki hanya mengatakan akan semakin sulit menagih kewajiban fasum dan fasos jika petinggi pengembang tersebut menjadi presiden.
"Makanya lebih enak jadi presiden kan, sebelum keduluan mereka jadi presiden. Kalau dia jadi presiden susah nagih lagi lho," kata Basuki di Balaikota Jakarta, Jumat (9/5/2014).
Lantas, pengembang mana yang dimaksud Basuki?
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menengarai, pengembang tersebut adalah pengutang sejumlah fasum dan fasos terkait proyek mereka yakni kawasan terpadu Rasuna Epicentrum seluas 53 hektar di Kuningan, Jakarta Selatan.
Pengembang ini telah melakukan praktik konversi lahan Taman Pemakaman Umum (TPU) Kasablanka menjadi akses masuk ke kawasan Rasuna Epicentrum. Jika mengacu pada Tata Ruang 2000-2010, alih fungsi tersebut jelas melanggar, karena TPU adalah aset daerah yang merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan terlarang dialihfungsikan.
"Seharusnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mempertahankan aset daerah tersebut. Namun, alih fungsi tak dapat dibendung karena pengembang telah mengantongi izin dari Kepala Dinas tata Ruang saat itu yakni Wiriyatmoko. Padahal, saat alih fungsi terjadi (2007), Jakarta mengalami krisis TPU. Sebagai gantinya, pengembang akan menyediakan TPU di daerah pinggiran. Hingga saat ini TPU tersebut tidak jelas nasibnya. Ini yang harusnya ditagih," papar Yayat kepada Kompas.com, Senin (12/5/2014).
Internal DKI bermasalah
Sejatinya, penyediaan fasum dan fasos tersebut merupakan kewajiban semua pengembang yang beroperasi di seluruh wilayah Indonesia. Demikian halnya dengan pengembang kawasan terpadu Rasuna Epicentrum yang mengembangkan blok-blok apartemen, perkantoran, pusat
belanja, dan ruang-ruang komersial lainnya. Dengan demikian, jumlah fasum dan fasosnya pun harus sesuai dengan jumlah warga penghuni yang beraktivitas dan tinggal di properti-properti tersebut."Namun, dalam kenyataannya, fasum dan fasos tidak memadai. Termasuk yang sangat krusial yakni TPU dan taman kota. Hanya saja, kita harus melihatnya dari dua sisi. Pemprov DKI Jakarta juga tidak siap melakukan serah terima aset fasum dan fasos yang telah dibangun pengembang," ujar Yayat.
Pemprov DKI Jakarta tidak mau menerima dengan alasan fasum dan fasos yang dibangun pengembang tidak sesuai dengan standard yang telah ditetapkan. Selain itu, masalah besar lainnya adalah, pihak yang paling bertanggung jawab menerima fasum dan fasos sampai saat ini tidak jelas.
"Pemprov DKI Jakarta sangat tidak siap menerima. Internalnya masih bermasalah. Selain tidak ada aturan dan sanksi, investarisasi aset juga tidak ada, perangkat lain nihil, apalagi standard operational procedure (SOP). Jadi, bagaimana pengembang mau menyerahkan aset bila Pemprov DKI Jakarta sendiri tidak siap? Jangan hanya mengejar tunggakan pengembang, DKI juga harus tahu diri," pungkas Yayat.
Sementara, menurut Ketua Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP), Bernardus Djonoputro, tunggakan fasum dan fasos akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan masyarakat serta tidak berjalannya rencana peruntukan fungsi lahan dan target rasio pelayanan fasum dan fasos. Oleh karena itu, penertiban disiplin integrasi fasum fasos dari pengembang ke Pemerintah Provinsi DKI harus sejalan dan mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kota.
"Saya kira permasalahannya hanya pada aspek serah terima yang harus berjalan parsial, seiring pertumbuhan pembangunan kawasan yang dilakukan pengembang. Dengan demikian, integrasi jumlah fasum dan fasos bisa terukur, dan aktual, tanpa harus menunggu semua kawasan proyek pengembang selesai. Kalau ini dilakukan, maka mungkin angka ketimpangan ketersediaan fasum dan fasos dapat berkurang," urai Bernardus.