SBY harus mencabut SK Menteri BUMN perihal izin pengakuisisian BTN dan pernyataan Direksi BTN bahwa saham pemerintah sebesar 60,14 persen di BTN akan dijual. Presiden harus bisa menghentikan agenda RUPS-LB mengenai pelepasan saham BTN pada 21 Mei 2014 nanti.
Panangian menambahkan, ke depan, setelah pemilu presiden, parlemen yang baru perlu tegas menolak akuisisi BTN oleh bank mana pun dan perlu mendorong agar pemerintahan baru tersebut untuk membatalkan akuisisi BTN. Presiden terpilih pada pemilu nanti pun harus segera merancang road map untuk memperkuat posisi dan peran BTN sebagai satu-satunya national housing bank di Indonesia.
"Bahkan dalam UU Perbankan, BTN harus diberi special treatment. Kalau memang BTN dianggap bank yang khusus menangani pembiayaan perumahan, harus diberi perlakuan khusus seperti itu karena beda dengan bank umum. Untuk itu, Presiden juga harus mengeluarkan inpres sebagai penugasan khusus itu untuk BTN karena dengan begitulah Presiden menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat," ujar Panangian.
Panangian menambahkan, misi BTN sejak didirikan pada 1976 bukanlah berorientasi pada profit, melainkan menyediakan rumah murah untuk masyarakat bawah. Saat bank-bank lain tidak masuk ke ranah rumah murah, BTN justru memperkuat diri di sektor tersebut, tak terkecuali pada krisis 1998 yang tetap memproduksi rumah hingga 110.000 unit. Tercatat, selama 38 tahun sampai 2014 ini, KPR BTN telah mencapai sekitar 3,7 juta unit atau senilai Rp 205 triliun. Artinya, BTN telah merumahkan 3,7 juta dikali 4 orang per unit rumah atau sama dengan 15 juta jiwa.
Panangian mengatakan, multiplier effect dari pembangunan 3,7 juta rumah tersebut sangat besar. Pertama, trickal down effect pembangunan 3,7 juta rumah itu sangat besar. Kedua, jumlah 3,7 juta rumah tersebut dibangun oleh 15 pekerja per rumah atau sebanyak 56 juta pekerja. "Dari 56 juta pekerja itu telah menghidupi 4 anggota keluarga atau sama dengan 222 juta jiwa. Lebih penting lagi, BTN telah membantu pemerintah mendorong dibukanya kota-kota baru di seluruh Indonesia," ujar Panangian.
Untuk itulah, lanjut Panangian, BTN sangat berpengalaman dalam hal pembiayaan perumahan rakyat dan telah membuktikan diri terhadap resistensi pada krisis 1998 lalu. Dengan demikian, sangat penting untuk menjadikan BTN sebagai national housing bank di Indonesia. "Aset BTN hari ini tercatat Rp 150 triliun. Sehat. BTN itu bank cantik. Untuk apa diakuisisi," kata Panangian.
Mendukung pendapat Panangian, Ketua DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Anton R Santosa dengan tegas menolak akuisisi tersebut. Anton mengakui, bila dilihat berdasarkan peraturan terkait yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, serta PP Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank; rencana Menteri BUMN mengakuisisi BTN tidak melanggar hukum dan sah-sah saja dilakukan.
"Akan tetapi, apakah pemerintah semudah itu mengabaikan mimpi-mimpi sebagian besar rakyat Indonesia untuk memiliki rumah. Bukankah itu mencederai tujuan negara yang tertuang dalam preambul UUD 1945 dalam pasal 33 bahwa basis ekonomi negeri ini adalah ekonomi kerakyatan, bukan kekuatan uang," kata Anton.
BTN, lanjut Anton, telah menjalankan prinsip-prinsip ekonomi kerakyatan karena bank tersebut bergerak untuk kelas menengah ke bawah sebagai pasarnya. Keberadaan BTN terbukti untuk memudahkan akses rakyat menengah bawah untuk bisa memiliki rumah.