JAKARTA, KOMPAS.com - Berdasarkan Indonesia Property Watch (IPW) selama periode Januari hingga Februari 2014, tercatat ada 43 pengaduan konsumen properti. Sebanyak 17 kasus berasal dari Jakarta, 16 kasus dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, 8 kasus dari bagian Pulau Jawa lainnya, serta dua kasus dari luar Jawa. Data tersebut dipaparkan Direktur Eksekutif IPW Ali Tranghada, Senin (21/4/2014).
Berdasarkan data itu, kasus yang melibatkan "mafia pailit" memiliki jumlah terbanyak, yaitu delapan kasus dan semuanya terjadi di Jakarta. Kasus terbanyak kedua adalah molornya serah terima properti sebanyak tujuh kasus yang terjadi di Jabodetabek. Kasus dengan jumlah terbanyak ketiga adalah sengketa PPRS berjumlah lima kasus, yang semuanya juga terjadi di Jakarta.
Menurut Ali, kasus yang tengah banyak ditangani dan disoroti IPW adalah kasus-kasus "mafia pailit", khususnya yang terjadi di apartemen Central at Kemanggisan. Setidaknya ada 30 orang datang ke IPW untuk minta keadilan mengenai masalah itu. Sayangnya, Ali mengungkapkan, wewenang IPW hanya bisa mencapai tahap mediasi.
"Ada 150 pembeli yang dia dibatalkan karena pailit dan dibayar hanya 15 persen. Sekarang disegel karena izinnya juga belum keluar," ujar Ali.
Ali mengungkapkan, IPW dengan Realestat Indonesia (REI) tengah berusaha agar REI tidak menjadi tempat bersembunyi "pengembang nakal". Menurut dia, pada banyak kasus, konsumen tidak memiliki kekuatan sama sekali.
Selain REI, Kemenpera pun dituntut punya suara mengenai hal ini. Sayangnya, Ali mengatakan, bahwa belum ada tanggapan memuaskan dari bagian hukum Kemenpera.
"REI hanya sebagai 'tempat persembunyian'. Kita coba ke Kemenpera tidak ada solusi. Dari legal, di Kemenpera, Ibu Maharani, tak ada action juga," imbuh Ali.
Sebelumnya, Kompas.com juga sempat berbincang dengan Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan REI, Djoko Slamet Utomo, soal penyelesaian kasus semacam itu. Djoko mengungkapkan, bahwa memang, keanggotaan itu berdasarkan niat masing-masing dan ketika menjadi anggota, sistem yang mengikat mereka tidak berlaku aktif. Namun, para pengembang harus menerima konsekuensi pemecatan bila terbukti melanggar sistem.
Tidak hanya IPW. Menurut Ali, puluhan bahkan ratusan pengaduan juga dilayangkan konsumen ke YLKI. Namun, tanpa ada aksi tegas sehingga tidak mungkin ada kemajuan. Untuk itu, Ali menegaskan pentingnya kehadiran badan tersendiri untuk menampung keluhan konsumen dan menyatukan semua pihak berkepentingan.
"Kita coba buat badan arbitrase, dulu ada pokja. Zaman (Kemenpera) Djan Faridz diberhentikan. Kita minta ke Kemenpera ada pokja untuk konsumen, karena konsumen banyak (yang mengeluh). BPN, Tata kota, REI, Apersi coba satu mediasi, tapi sampai saat ini tidak ada," kata Ali.
"Lucunya, berapa kali saya ke konsumen dan ke Kemenpera, tidak ada pemecahan. Diminta diselesaikan antara pengembang dan konsumen, ya tidak bisa. Pengembang lebih kuat. Dengan pokja, ada satu tempat untuk komplain. Kalau tidak ada tempat untuk berkumpul, susah. Dulu cukup ada komunikasi, sekarang tidak," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.