Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan Salah Arah, Potret Perumahan Rakyat di Indonesia

Kompas.com - 27/02/2014, 17:13 WIB
Tabita Diela

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar kebijakan publik Andrinof Chaniago mengungkapkan bahwa pembangunan serta kebijakan perumahan rakyat di Indonesia merupakan sebuah anomali. Demikian dia sampaikan saat menjadi pembicara Silaturahmi Nasional (Silatnas) Keluarga Besar Perumahan Rakyat 2014 di Jakarta, Kamis (27/2/2014).

"Anomali. Secara fisik, di permukaan wilayah di Indonesia ini, nyata sekali untuk melihat anomali dalam pembangunan dan kebijakan peumahan di Indonesia. Anomali fisik, berhubungan dengan pencapaian tujuan," ujar Andrinof.

Andrinof menyontohkan Singapura, Hongkong, dan Korea Selatan. Ketiga negara itu sudah menunjukkan bentuk perumahan yang jelas. Sementara itu, dibandingkan dengan Indonesia, apa yang terjadi di Indonesia hanyalah sebuah anomali.

"Anomali adalah kesalahan arah pada kebijakan. Perumahan gagal menyejahterakan rakyat," ujarnya.

Andrinof mengatakan, berulang kali mengemuka pernyataan soal jumlah kekurangan pasokan rumah (backlog) sebagai salah satu indikator. Backlog menjadi gambaran ketimpangan sosial dan gambaran kebijakan perumahan di Indonesia.

"Dominan rumah tapak, tapi bagaimana dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat. Biaya hidup tinggi sekali untuk masyarakat. Mekanisme yang ada memaksa orang tinggal di pinggiran karena dibayangi ilusi sewa tanah atau harga tanah murah di pinggiran," katanya.

Idealnya, lanjut Andrinof, negara berpenduduk padat seharusnya mengadaptasi hunian vertikal bagi penduduknya. Sayangnya, hal yang sebaliknya justeru terjadi di Indonesia.

"Selama anomali ini kita biarkan, masalah tidak akan selesai. Kalau mau menyejahterakan masyarakat, harus ada regulasi yang tegas untuk merumahkan masyarakat dalam hunian vertikal," tekan Andrinof.

Ketegasan ini tentu ada konsekuensinya. Menurut Andrinof, pelaku usaha harus mempersiapkan arah bisnisnya untuk pembentukan hunian vertikal. Pasalnya, banyak sekali manfaat hunian vertikal, antara lain menekan biaya transportasi, makin banyak ruang terbuka hijau, menjamin ketersediaan drainase yang memadai, serta menjamin mudahnya penanganan hal-hal darurat, misalnya memastikan akses ambulans ke hunian.

"Maka, pembangunan pendekatannya harus komperensif. Harus kita lihat bagaimana fungsi yg satu bertemu dengan fungsi yg lain," imbuhnya.

Dia juga mengungkapkan, dengan hunian vertikal, harga tanah juga bisa direm. Jika tiap tahun harga tanah naik hingga 37 persen, menurut Andrinof, rakyat berpenghasilan rendah tentu sulit menjangkauanya.

Menurut dia, solusinya pun tersedia, yaitu harus ada perubahan paradigma. Kalau paradigma ini diambil, peran negara akan menjadi besar. Pengusaha akan kembali pada "jalan yang benar", yaitu sebagai pebisnis dan bukan lagi sebagai penyedia perumahan rakyat.

"Kita harus menyadari persoalan kita adalah paradigma yang salah dari tahun 80-an sampai sekarang. Kalau tidak, backlog akan semakin banyak," tandasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau