Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengembang Nakal, Konsumen Tak Paham

Kompas.com - 03/02/2014, 11:30 WIB
Tabita Diela

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengembang menjadi "nakal", atau melanggar etika profesi yang diterapkan asosiasi organisasi Real Estat Indonesia (REI), karena konsumen juga tidak memiliki pengetahuan yang cukup atau memahami aturan hukum bertransaksi properti.

Menurut Wakil Ketua Umum DPP REI, Djoko Slamet Utomo, fenomena "nakal"nya pengembang itu tercipta karena masyarakat juga tidak paham.

"Saya kebetulan juga konsumen. Coba tengok Undang-Undang Rusun Nomor 20 tahun 2011. Itu ada sesuatu, yang kalau tidak hati-hati, pada saat bangunan rusak suatu hari nanti harus dihancurkan. Itu belum ada Peraturan Pemerintah-nya. Kalau tinggal di rumah tapak, sudah biasa. Kalau di rusun kan repot. Nanti masyarakatnya bagaimana, pengembangnya juga bagaimana?," paparnya kepada Kompas.com, Minggu (2/2/2014).

 
Lebih lanjut Djoko mengatakan, masyarakat harus paham bagaimana aturan dan payung hukum serta mengerti juga bagaimana mengelola dan menghuni propertinya. Sebaliknya, Djoko juga tak menampik bahwa gejala yang terjadi akhir-akhir ini adalah pengembang mengejar untung, demikian juga konsumen yang bermotif investasi.

Lantas, mengapa REI tidak melakukan pembinaan bagi masyarakat, khususnya calon konsumen properti?

"Kami terkendala waktu. Tapi, apa pun yang terjadi kami ingin mengoreksi. Terkadang ada konsumen yang tidak paham," jelasnya.


Pada dasarnya, lanjut Djoko, kehadiran asosiasi, khususnya asosiasi pengembang seperti REI  maupun Asosiasi Pengembang dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) hadir untuk mengayomi. Tidak hanya mengayomi anggotanya, namun idealnya juga melindungi masyarakat.

Dengan banyaknya kasus yang menyeret para pengembang, asosiasi kena tuduh dari masyarakat bahwa mereka tidak mampu menertibkan anggotanya. Padahal, aku Djoko, asosiasi sudah menyiapkan kode etik bagi para anggota.

Secara pribadi, Djoko menyampaikan permohonan maafnya jika ada anggota REI, tanpa menyebut nama, yang telah merugikan masyakat. Namun, dia juga menekankan bahwa perlu ada kesepahaman antara masyarakat dan para pengembang. Pasalnya, masyarakat sebagai konsumen pun seringkali tidak paham dengan kegiatan belanja properti yang mereka lakukan.

Di sisi lain, para pengembang memanfaatkan momentum dan kondisi pasar yang tengah berpihak pada sektor properti. Djoko memberi contoh, seharusnya pengembang menjual properti sebagaimana adanya. Namun, kini tidak sedikit pengembang yang menjual properti sebagai barang investasi.

"Kita perlu ada koreksi internal. Kalau menjual harus benar. Kami ingin properti dihuni, sekarang malah jadi investasi. Saya hanya bisa mengarahkan saja, selain bisa memberikan untung, bagaimana juga menghuninya," keluhnya.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau