Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekali Lagi... Apa Benar Anda Siap Hidup di Apartemen?

Kompas.com - 25/01/2014, 13:56 WIB
KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch IPW Ali Tranghada di Jakarta,  Kamis (23/1/2014), mengatakan bahwa dengan semakin terbatasnya lahan di kota-kota besar seluruh dunia memaksa segalanya dibangun secara vertikal. Tak cuma hunian, bahkan pertanian vertikal kini mulai dikembangkan.

Di Indonesia sendiri, khususnya di Jakarta dan kota-kota sekitarnya, hunian vertikal diperkirakan akan menjadi model hunian lazim 10 tahun mendatang. Apartemen makin menjadi tren. Siapkah masyarakat menerima tren ini? Untuk menjawab itu, rasanya, tak salah menyimak paparan Panangian Simanungkalit, pakar properti dan penulis buku "Beli Rumah dan Apartemen, Tips dan Trik" berikut ini.

Apartemen adalah blok bangunan yang di dalamnya terbagi-bagi dalam sejumlah ruang atau unit, yang dipasarkan secara strata-title atau disewakan. Di luar itu, ada juga istilah kondominium yang juga merujuk pada apartemen. Pada dasarnya, pengertian keduanya sama. Yang membedakan hanya istilahnya.

Kondominium adalah penguasaan beberapa atau sejumlah orang atas sebuah properti atau bangunan besar. Jadi, apartemen lebih menunjuk ke pengertian fisik, sedangkan kondominium merujuk kepada hak atau istilah legal.

www.designboom.com Sinato benar-benar mendefinisikan apartemen ini lewat pemakaian dinding kayu tunggal. Mereka memasukkan partisi di sepanjang unit apartemen itu sehingga masing-masing ruangan punya karakter tersendiri dengan fungsi berbeda-beda.
Gaya hidup mobile

Apa pun itu, bagi kalangan muda, tinggal di apartemen sebenarnya pilihan paling tepat. Pasalnya, orang muda masih sangat produktif dan mobile. Waktu di rumah praktis hanya untuk beristirahat atau tidur dan momong anak. Jadi, tak banyak waktu untuk merawat rumah, menjalankan hobi, atau mengisi waktu luang di rumah. Karena itu, hunian paling tepat adalah praktis dan tidak membutuhkan banyak keterlibatan pemilik untuk merawatnya, dan itu hunian seperti itu adalah apartemen.

Selain itu lokasi partemen biasanya di tengah kota yang dekat dengan berbagai pusat kegiatan (bisnis, komersial, pendidikan, kesehatan, hiburan, dan lain-lain). Untuk pasangan muda yang mobile namun penghasilannya belum begitu tinggi, situasi ini cocok karena dengan tinggal di apartemen, mereka tidak harus mengeluarkan biaya transportasi yang besar. Anggota keluarga pasangan muda pun masih sedikit. Anak, kalaupun ada, masih balita. Jadi tidak perlu hunian yang besar. Apartemen 36 m2-45 m2 pun cukup.

Selain itu, dengan tinggal di apartemen di dalam kota, pasangan muda juga lebih mudah mengatur waktu untuk anaknya yang masih kecil, yang masih butuh perhatian ekstra orangtuanya. Di negara-negara maju seperti Jepang, sekitar 60 persen penduduk usia produktifnya tinggal di apartemen di dalam kota, sehingga pusat kota memadat. Untuk itu pemerintah memberi insentif berupa keriganan pajak, subsidi bunga, regulasi, dan lain-lain. Sementara kalangan yang lebih tua dan mapan, terserah mau tinggal di mana, di dalam kota di apartemen atau di rumah biasa di pinggir kota yang lebih jauh dari pusat kota dan sedikit populasinya.

Di Indonesia, situasinya terbalik. Kalangan berusia produktif yang mobilitasnya masih tinggi dan tidak punya waktu mengurus rumah, justru tinggal di pinggir kota sehingga tidak efisien. Padahal, penghasilan mereka masih bertumbuh. Sementara kalangan mapan dan berpenghasilan besar tinggal di dalam kota. Tidak ada kebijakan atau insentif pemerintah untuk membalikkan keadaan itu. Pengembangan apartemen diserahkan begitu saja ke mekanisme pasar. Akibatnya, yang dipasarkan pengembang hanya apartemen untuk kalangan menengah atas dan apartemen mewah yang hanya terjangkau kalangan mapan.

Apartemen identik dengan hunian eksklusif untuk kalangan terbatas, bukan berfungsi mengendalikan penyebaran penduduk, mengefisienkan mobilitas, mengurangi kemacetan, dan pemborosan energi, meminimalisir degradasi kualitas lingkungan hidup, dan seterusnya. Ini kelemahan pengembangan permukiman di kota-kota di Indonesia. Mereka tidak memiliki urban concept. Di negeri ini tidak ada semacam menteri perumahan dan pengembangan kota. Yang ada hanya menteri pembangunan perumahan.

Sejak lima tahun terakhir, sudah banyak pengembang berinsiatif menawarkan apartemen menengah seharga hingga Rp 600 jutaan yang terjangkau kalangan muda di tengah kota, tanpa harus menunggu insentif pemerintah. Setelah itu juga ramai penawaran rumah susun sederhana hak milik (rusunami) yang harganya lebih murah lagi, bahkan mendapat pembebasan pajak dan subsidi bunga kredit dari pemerintah.

Kesempatan ini seharusnya dimanfaatkan kalangan muda untuk mulai menjadikan apartemen sebagai alternatif hunian. Paling tidak sebagai hunian pertama. Kelak setelah penghasilan mulai mapan, anak-anak mulai besar, aktivitas dan kebutuhan ruang keluarga tidak mampu lagi ditampung di apartemen, barulah mereka pindah ke rumah biasa (landed residential) yang lebih besar di pinggir kota. Unit apartemen bisa disewakan kepada pasangan yang lebih muda. Bagaimanapun harus diakui, bagi sebagian orang membina keluarga dan membesarkan anak yang paling baik tetaplah di rumah biasa (landed house), kendati pendapat itu masih menjadi perdebatan.

www.shutterstock.com Kebanyakan apartemen dibeli oleh untuk kemudian disewakan kembali. Namun, tingginya tingkat kebutuhan hunian, khususnya di dalam kota pun begitu tinggi.
Hanya saja, memang, tinggal di apartemen menuntut sikap rasional, efisien, simpel, praktis, dan mandiri. Tenggang rasa pun harus lebih tinggi karena tetangga kita tidak hanya di samping kiri dan kanan tapi juga di atas dan di bawah. Menerima tamu dan mengundang kerabat pun tidak bisa lagi sesukanya seperti di rumah. Bukan hanya karena bisa menganggu tetangga tetapi kapasitas setiap unit apartemen sangat terbatas. Jadi kalau mau ngumpul, kita harus melakukannya di ruang pertemuan yang disediakan di setiap apartemen. Di apartemen, kita juga tidak bisa berkebun atau memelihara pohon seenaknya kecuali pphon yang moveable di dalam toples atau pohon yang ditanam dengan sistem hidroponik.

Mengoleksi barang pun harus diperhitungkan karena kalau terlalu banyak, tidak mungkin ditempatkan semua di unit apartemen. Sementara menaruhnya di koridor setiaplantai adalah terlarang karena selain mengorupsi hak bersama, juga berbahaya. Kalau terjadi keadaan darurat, barang-barang itu akan menganggu mobilitas penghuni apartemen yang menyelamatkan diri atau evakuasi.

Budaya komunal

Pendeknya, tinggal di apartemen adalah budaya komunal modern, rasional yang menghormati kemajemukan. Dalam sistem budaya itu ada tenggang rasa, tapi tenggang rasa yang dituangkan dalam aturan tertulis berikut sanksinya yang disusun dan disepakati semua penghuni melalui Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS). Aturan itu dirumuskan dan diawasi bersama pelaksanaanya, berlaku untuk semua penghuni dari sistem budaya apapun dan tidak tergantung pada tokoh panutan.

Masyarakat kita sebenarnya sudah akrab dengan budaya komunal itu, tapi budaya komunal tradisional yang homogen-paternalistik. Dalam sistem budaya ini, ada tepa salira, tapi sifatnya tidak tertulis, longgar, lebih ditujukan kepada penganut sistem budaya yang sama dan penerapannya tergantung patron. Karena itu, di kota yang warganya terdiri dari banyak etnis dan individualistis, budaya itu memerlukan penyesuaian agar bisa diterapkan dalam relasi sosial.

Terlebih-lebih di apartemen yang konsentrasi manusianya begitu tinggi, ratusan orang berdiam di atas tanah dan bangunan yang sama, menggunakan fasilitas yang sama. Ketidakpedulian yang satu bukan hanya menganggu yang lain tapi bisa mengancam keamanan seisi apartemen. Bahkan, pertengkaran anak-anak atau acara memasak yang terlalu hot di apartemen Anda cukup membuat pusing tetangga. Berkaitan dengan itu, sejumlah hal perlu kita perhatikan dan pahami bila hendak membeli dan menghuni apartemen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau