Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mungkinkah Desentralisasi Perumahan Diberlakukan?

Kompas.com - 17/01/2014, 10:29 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kegagalan memenuhi kesejahteraan rakyat melalui pembangunan rumah disebabkan oleh kebijakan sentralistik. Kebijakan perumahan sentralistik yang selama ini diterapkan justru dinilai menyingkirkan kebutuhan, kondisi, kearifan dan lebih jauh lagi masa depan daerah (lokal).

Menteri Koperasi dan UKM Kabinet Reformasi Pembangunan, Adi Sasono, mengatakan hal tersebut dalam acara Pandangan ke Depan Kebijakan Rumah di Tahun Politik 2014, Kamis (16/1/2014). 
"Kegagalan perumahan rakyat adalah dampak dari kebijakan sentralistik yang pro korporat alias kapital. Jadi, desentralisasi perumahan merupakan jawaban yang tepat. Kebijakan yang berlaku di Pulau Jawa harus dibedakan dengan luar Jawa, karena kebutuhannya saja sudah beda," ujar Adi.

Perumahan merupakan kebutuhan primer ketiga setelah sandang dan pangan. Semestinya, semua ditangani dengan tangan lokal, bahan lokal dan kearifan lokal. Jika hal ini dilakukan, maka produktifitas akan tercapai, demikian halnya dengan efisiensi anggaran.

"Artinya, ofisialisasi perumahan di suatu wilayah dalam satu kontinen sangat mungkin dilakukan, akan tetapi, di negeri kepulauan mustahil diterapkan," cetus Adi.

Menurutnya, Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbagi dalam 34 provinsi dan bukan satu  kontinen. Untuk itu, Indonesia juga harus mau mengacu pada kebijakan perumahan negara lain seperti Jepang, Singapura dan bahkan Iran.

Di Iran misalnya, pemerintahannya justru  melaksanakan optimalisasi sosial pertanahan. Karena tanah pada hakekatnya milik rakyat yang dikelola sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Pembangunan perumahan dilakukan oleh pemerintah melalui sayap koperasi.

Terhadap pemikiran Adi, Pengamat Kebijakan Publik dari Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan Institut Teknologi Bandung, Jehansyah Siregar, mengatakan, skema public housing, justru sudah mencakup semua hal yang dibutuhkan oleh pemangku kebijakan, pemerintah dan pelaku pasar.

"Perlunya kemudahan perizinan, perolehan tanah, dan terjaminnya tata ruang, adalah agar masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tidak tersisih. Di dalam public housing itu semua harus dilakukan," ujar Jehansyah.

Dengan kata lain, terbangunanya sistem penyediaan di tingkat hulu secara terpadu harus lebih didahulukan. Pelaksanaan pembangunan rumah rakyat tidak bisa dibiarkan tanpa ada pengelola dan pengawas semacam Public Body yang memiliki otoritas.

"Memproduksi kebijakan dan melaksanakan pembangunan perumahan memang tidak semudah membalik tangan tapi kita harus menunjukkan peta jalan. Keterpaduan infrastruktur, adalah contoh sistem penyediaan di tingkat hulu yang mempengaruhi produktifitas rumah menjadi  sangat signifikan," tukas Jehansyah.

Lebih dari itu, karena perumahan rakyat sudah kadung dianggap sebagai bagian dari organisasi proyek (bisnis), maka menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, bisnis perumahan harus memiliki etika, filosofi dan kriteria tertentu.

"Selama ini yang terjadi, baik pemerintah, DPR, perbankan, maupun pengembang justru mereduksi tujuan pembangunan perumahan, yakni kesejahteraan rakyat," ucap Andrinof.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau