JAKARTA, KOMPAS.com — Pasar perkantoran Jakarta betul-betul menunjukkan performa terbaiknya. Hal ini tidak saja terlihat dari peningkatan permintaan (demand), tetapi juga harga sewa dan jual.
Bahkan, harga sewa saat ini sudah menembus angka 65 dollar AS atau ekuivalen dengan Rp 780.312 per meter persegi per bulan, di luar biaya servis sebesar 7,5 dollar AS (Rp 90.000) per meter persegi per bulan.
Hasil studi Leads Property Indonesia menunjukkan, angka tersebut merupakan rekor harga sewa tertinggi pada kuartal III 2013 yang pernah terjadi dan berlaku di gedung perkantoran premium Kawasan Bisnis Terpadu (Central Business District/CBD) Jakarta. Sementara harga terendah sebesar Rp 100.000/m2/bulan dan biaya servis Rp 25.000-Rp 40.000/m2/bulan.
Secara umum, harga sewa rerata gedung perkantoran Grade A di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dan MH Thamrin mencapai kisaran 50 dollar AS (Rp 600.240)/m2/bulan atau hampir dua sampai tiga kali dari harga sewa perkantoran di Jalan HR Rasuna Said dan Gatot Subroto yang masing-masing sekitar 26 dollar AS (Rp 298.700) dan 17 dollar AS (Rp 195.000)/m2/bulan.
Untuk luar CBD, harga yang ditawarkan cukup bersaing dan lebih banyak terpengaruh oleh lokasi dibandingkan faktor-faktor lainnya. Sebagai kawasan yang paling berkembang saat ini misalnya, koridor TB Simatupang, masih berada pada level 25 dollar AS (Rp 300.000)/m2/bulan dan biaya servis Rp 60.000/m2/bulan. Harga sewa terendah sekitar Rp 70.000/m2/bulan dan biaya servis Rp 35.000/m2/bulan.
Dalam catatan Leads, harga sewa tersebut meningkat dua kali lipat ketimbang pencapaian tahun lalu sebesar 33,78 dollar AS (Rp 392.336/m2/bulan). Sedangkan di luar CBD sekitar 19,1 dollar AS (Rp 222.709/m2/bulan).
Kenaikan ini terpengaruh beberapa hal, di antaranya tingkat hunian yang tinggi dan melemahnya rupiah yang menyebabkan harga sewa dalam dollar AS lebih mahal bila dikonversi ke rupiah.
Menurut CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono, meroketnya harga sewa perkantoran di Jakarta juga sebagai konsekuensi logis dari tingginya demand. Kebutuhan ini belum bisa diimbangi oleh suplai. Oleh karena itu, pada gilirannya, tingkat okupansi juga mencatat kinerja sangat tinggi yakni mencapai angka 95,5 persen.
"Tingkat hunian perkantoran CBD Jakarta khususnya bertumbuh dari 93,2 persen menjadi 96,1 persen dan mencatat penyerapan sebesar 42.929 m2. Sedangkan tingkat hunian di luar CBD juga cukup bersaing dengan pertumbuhan dari 92,7 persen menjadi 94,3 persen," papar Hendra kepada Kompas.com, Sabtu (14/12/2013).
Perkembangan harga sewa pada tahun 2013 ini masih tercatat sebagai landlord market. Pemilik gedung memiliki posisi tawar kuat guna mengendalikan harga sewa.
Di sisi lain, pertumbuhan suplai belum mampu mengimbangi kebutuhan. Ruang perkantoran baru yang masuk pasar tahun 2013 ini lebih kurang 100.000 m2 dan hanya berkontribusi terhadap total pasok menjadi 4,8 juta m2 dari sebelumnya 4,7 juta m2. Pertambahan ini jauh di bawah pencapaian tahun lalu dan tidak sesignifikan rencana pertumbuhan tahun 2014.
Beberapa pengembangan kunci perkantoran akan datang dari Ciputra World Jakarta di koridor Satrio, Jakarta Selatan.
Perkantoran luar CBD makin berkembang
Keterbatasan dan tingginya harga lahan di CBD Jakarta yang mencapai kisaran Rp 50 juta-Rp 100 juta/m2 menyebabkan tren pergeseran perkembangan ruang kantor keluar CBD, khususnya Jakarta Selatan (Jalan TB Simatupang dan sekitarnya) dan Jakarta Barat, yaitu daerah Kebon Jeruk dan Puri Indah. Akses ke bandara dan dekat dengan permukiman merupakan salah satu faktor pendukung daerah Jakarta Barat makin berkembang pesat.
Perkantoran di luar CBD mengalami kemajuan cukup pesat tahun ini dengan pertumbuhan pasok menjadi 2,5 juta m2 dari tahun sebelumnya 2,2 juta m2, atau meningkat 300.000 m2 (300 persen).
Lebih dari 50 persen pengembangan ruang kantor baru di luar CBD berasal dari koridor TB Simatupang. Sepanjang tahun 2013, koridor ini menyumbang sekitar 128.000 m2.
Ekspansi bisnis memicu pertumbuhan
Beberapa sektor usaha yang berencana melakukan ekspansi bisnis juga mendorong pertumbuhan sektor perkantoran. Sektor usaha yang umumnya menjadi penyewa utama adalah perusahaan pertambangan dan perminyakan, perdagangan, keuangan, dan sektor informasi dan teknologi.
Selain tren pertumbuhan ruang kantor baru, tahun 2013 juga diwarnai pertumbuhan permintaan serviced-office yang berasal dari perusahaan pemula (start up company).
"Melihat tingginya harga sewa perkantoran di tahun 2013 dan setahun ke depan, akan lebih banyak diisi dengan transaksi perpanjangan masa sewa ruang perkantoran dibandingkan perpindahan ke kantor baru," ujar Hendra.
Permintaan menurun pada 2014
Tingginya suku bunga dan makin ketatnya pinjaman perbankan menyebabkan pengusaha lebih berhati-hati dalam membuka bisnis sehingga ukuran ruang kantor yang diperlukan tidaklah besar. Pada gilirannya akan memengaruhi permintaan ruang kantor secara keseluruhan."Dengan kata lain, pertumbuhan permintaannya menurun," cetus Hendra.
Selain itu, efek ke depan bagi pengembang adalah biaya utang akan menjadi tinggi. Hal ini bisa berpotensi menghambat pertumbuhan pembangunan properti komersial yang dibiayai dengan utang bank.