Perlambatan yang terjadi selama triwulan III tahun ini terlihat dari merosotnya volume penjualan dan kenaikan harga yang tidak setinggi periode-periode sebelumnya.
Menurut Head of Research Jones Lang LaSalle (JLL) Indonesia, Anton Sitorus, pemicu lainnya adalah melorotnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS dan keputusan Bank Indonesia untuk menaikan suku bunga acuan.
"Seluruh faktor tersebut, menjadi pemicu menurunnya tingkat permintaan pasar karena daya beli yang juga terpengaruh," ujar Anton.
Hasil observasi JLL menunjukkan pertumbuhan permintaan dan kenaikan harga properti mulai melambat seiring munculnya sentimen negatif khususnya di kalangan investor yang berkecimpung di sektor residensial.
Kenaikan suku bunga dan tindakan Bank Indonesia dalam menerapkan aturan baru terkait LTV (loan-to-value ratio) secara umum juga berdampak signifikan terhadap penjualan hunian. Selama kurun Juli dan September 2013, jumlah penjualan apartemen strata mencapai sekitar 2.390 unit.
"Kami memprediksi penjualan akan melambat di paruh kedua. Meski demikian, total penjualan tahun ini akan menjadi rekor baru melampaui rekor tahun 2012 lalu ketika penjualan selama setahun tersebut mencapai sekitar 12.700 unit," ujar Head of Residential JLL, Luke Rowe.
Senior Associate Director and Head of Research & Advisory Cushman & Wakefield Indonesia, Arief N Rahardjo, menguatkan pernyataan Luke. Menurutnya, aturan LTV membingungkan masyarakat. Tak hanya developer sebagai pelaku industri hunian, juga calon pembeli.
"Aturan LTV KPR rumah pertama saja berdampak pada penurunan penjualan, apalagi LTV untuk KPR kedua dan ketiga serta KPR inden. Kalangan yang paling terkena dampak aturan KPR Inden menjadi meluas, tak hanya kalangan masyarakat menengah, juga kelas bawah. Pengembang dengan kekuatan finansial terbatas, akan terganggu produksinya," papar Arief.
Selain sektor residensial, penurunan aktivitas juga terjadi di sketor perkantoran komersial. Banyak perusahaan pengguna gedung kantor komersial (penyewa) yang menahan rencana ekspansi mereka. Akibatnya, volume transaksi penyewaan ruang kantor di daerah pusat bisnis (central business district/CBD) juga memperlihatkan tren kurva menurun.
Tingkat serapan perkantoran komersial menjadi hanya 61.000 meter persegi, dari sebelumnya yang bisa membukukan sampai 93.000 meter persegi. Seiring dengan merosotnya tingkat serapan ini, pergerakan harga sewa pun tak sepesat periode-periode sebelumnya. Lebih lambat, bahkan cenderung stabil. Kalau pun ada kenaikan, lebih disebabkan oleh depresiasi Rupiah di gedung-gedung perkantoran yang menggunakan tarif mata uang dollar AS.
Menurut Country Head JLL Indonesia, Todd Lauchlan, perlambatan kemungkinan masih akan terjadi dalam beberapa kuartal ke depan. Hal ini disebabkan oleh menurunnya dinamika ekonomi akibat gejolak yang masih berlangsung di Amerika Serikat dan kemungkinan melambatnya aktivitas bisnis korporasi menjelang Pemilu tahun depan.
"Akselerasi pasar diperkirakan akan kembali terjadi setelah Pemilu 2014, di mana rencana ekspansi dan investasi yang kemungkinan tertahan dalam beberapa triwulan ke depan ini akan segera direalisasikan. Optimisme ini didasarkan oleh fundamental ekonomi jangka panjang Indonesia yang semakin kuat didukung faktor demografis dan sumber daya alam yang melimpah yang akan menarik pertumbuhan investasi baru serta peningkatan ekonomi masyarakatnya," papar Todd.