Namun, mencermati gejolak perekonomian yang dipicu depresiasi Rupiah dan gonjang ganjing Pasar Saham, akankah pencapaian tersebut dapat terulang? Beberapa pengembang mengaku tetap optimis, kendati kadarnya sudah mulai menipis.
Direktur Ciputra Property, Artadinata Djangkar, mengatakan, pihaknya masih yakin sektor properti akan tetap tumbuh, karena fluktuasi ekonomi sekarang merupakan reaksi yang overshoot dan sifatnya jangka pendek. Volatilitas nilai tukar masih akan berlangsung selama 3-6 bulan ke depan.
"Setelah itu, seharusnya kondisi akan membaik, kembali normal. Kondisi pasar properti sebelumnya, terlalu hot. Saya kira dalam pertengahan hingga akhir tahun ini masih akan tumbuh baik dengan akselerasi pertumbuhan yang wajar," ujar Artadinata kepada Kompas.com, di Jakarta, Jumat (30/8/2013).
Ciputra, lanjut Arta, tidak akan menunda pembangunan proyek baru, seperti menara perkantoran kedua dalam area pengembangan Ciputra World 1 Jakarta. Mereka juga tetap menyelesaikan konstruksi hotel dan apartemen.
"Pembangunan menara perkantoran atau Tower 4 tetap sesuai jadwal. Untuk menjawab kebutuhan ruang kantor sewa. Saat ini saja, DBS Tower (gedung perkantoran pertama) sudah tersewa 90 persen dan terisi 60 persen. Harga sewanya mencapai Rp 350.000 per meter persegi per bulan. Sementara ruang kantor yang dijual seharga Rp 47 juta-Rp 50 juta per meter persegi," papar Arta.
Namun, kuatnya permintaan dan tingginya harga tersebut masih harus diuji, dan apakah masih bisa dipertahankan. Selain volatilitas nilai tukar, juga pasar saham yang terus anjlok akibat penarikan uang oleh investor AS yang justru memulihkan ekonomi mereka. Setelah penurunan pada bulan Agustus, pasar saham secara kumulatif melorot 23 persen selama tiga bulan terakhir.
Berakrobatnya pasar saham tersebut telah mengundang beberapa pengamat asing menarik perbandingan dengan krisis keuangan Asia pada tahun 1997. Menurut Chief Investment Officer for Asia and Middle East Coutts Bank, Gary Dugan, kewajiban jangka pendek Indonesia sama dengan hampir 90 persen dari cadangan devisanya.
"Itu membuat pemerintah Indonesia kesulitan mempertahankan depresiasi mata uang tanpa menaikkan suku bunga lebih agresif, atau menerapkan langkah-langkah untuk menghambat arus keluar modal asing," ujar Gary seperti dikutip Alex Frew McMillan dalam sebuah tulisan di Worldpropertychannel.
Bank Indonesia tak mengubah suku bunga sebesar 6,5 persen pada pertemuan 15 Agustus lalu, dan sejauh ini hanya menaikkan sebesar 75 basis poin tahun ini. Pemerintah telah memperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4 persen menjadi 6,8 persen tahun depan, tidak jauh di belakang tingkat ekonomi China saat ini.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.