Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yuk, Menelanjangi Arsitek Lewat Rumahnya!

Kompas.com - 14/08/2013, 18:29 WIB
Tabita Diela

Penulis

Sumber BBC
mindbowl.pl R128 berpotensi menjadi rumah yang dingin, berjarak dari emosi manusia.
www.wikimedia.org Definisi kenyamanan di rumah pada abad 20-an pun sudah berganti. Coba tengok apartemen Le Corbusier di dua lantai teratas bangunan di Paris pada akhir 1930-an. Tempat tidurnya dibuat jauh lebih tinggi dari lantai.
galinsky.com Alvar Aalto (1898-1976) merancang rumah sekaligus studio. Karyanya ini merepresentasikan momen ketika Modernisme berekonsiliasi dengan alam. Rumah dan studio tersebut merupakan sebuah museum.
KOMPAS.com — Berbeda dengan pandangan pemikir asal Perancis, Roland Barthes, menurut Gennaro Postiglione, sebuah karya memiliki korelasi erat dengan pembuatnya. Gennaro, editor buku berjudul "The Architect's Home" (Rumah Sang Arsitek) secara implisit menyatakan bahwa karya arsitektur merupakan representasi perancangnya.

Buku ini seolah "menelanjangi" kepribadian, pandangan, dan ide para arsitek ternama dunia lewat mahakarya mereka, yaitu tempat tinggalnya. Gennaro, seorang profesor bidang desain di Milan Polytechnic, mengungkap rumah-rumah para arsitek tersebut sebagai karya yang mampu mendeskripsikan berbagai idealisme, kehebatan, serta teknik mereka. Menurutnya, rumah sang arsitek merupakan "laboratorium" yang bisa dimanfaatkan sang arsitek untuk mengembangkan kemampuannya tanpa terbentur keinginan klien.

 
Jonathan Glancey dari BBC membahas buku karya Gennaro tersebut. Dalam tulisannya, Glancey berpendapat, rumah-rumah arsitek merupakan tempat yang sangat istimewa, karena di sana ada kesempatan untuk mencoba ide baru dari gaya, rencana, material, metodologi, dan cara hidup. Bagi para sejarawan, bangunan-bangunan ini merupakan biografi yang tertulis dalam tiga dimensi dan material solid, tanpa adanya tempat bagi binatang peliharaan, atau anak-anak.
 
Glancey menggarisbawahi rumah karya Günther Domenig (1934-2012) di selatan Austria dan House R128 di Stuttgart karya arsitek asal Jerman Werner Sobek (lahir 1953). Rumah karya Domenig berada di kota sangat konservatif bernama Graz. Ia terus membangun rumah-rumah bagi dirinya sendiri antara tahun 1986 hingga kematiannya. Hal ini merupakan ekspresi dari geliat perjuangan Austria melawan kebudayaan dan ideologi Nazi. Menurut Glancey, karya-karya Domenig juga hadir untuk kebebasan berekspresi, apa pun bayarannya.
 
Sementara itu, rumah karya Sobek merupakan perlambang dari kemenangan teknologi Jerman pasca-perang, kehidupan bernuansa demokratis dan terbuka, tetapi tampak sangat teratur dan seolah berada di bawah mandat. Rumah tersebut bebas dari handel pintu, bahkan switch untuk mematikan dan menyalakan lampu. Sensor menggantikan peran handel dan switch. R128 berpotensi menjadi rumah yang dingin, berjarak dari emosi manusia. Apakah sebuah rumah yang dirancang dengan rasional bisa menjadi rumah bernuansa dingin dan tidak melambangkan emosi manusia? Pertanyaan tersebut, menurut Glancey, sudah ditanyakan bahkan sejak zaman Renaisans Italia.
 
Namun, tampaknya, arsitek di abad ke-20 memasuki nuansa yang jauh berbeda dari zaman Renaisans. Definisi kenyamanan di rumah pada abad 20-an pun sudah berganti. Coba tengok apartemen Le Corbusier di dua lantai teratas bangunan di Paris pada akhir 1930-an. Tempat tidurnya dibuat jauh lebih tinggi dari lantai. Seolah, Le Corbusier (1887-1965) dan istrinya, Yvone, memiliki postur tubuh yang besar. Padahal, tidak demikian. Uniknya, Glancey menyebutkan bahwa kemungkinan ketidaknyamanan ini justru menggambarkan karakteristik Perancis. 
 
Selain itu, ada pula rumah dan studio dari arsitek Finlandia, Alvar Aalto (1898-1976) di Munkkiniemi. Rumah dan studio tersebut merepresentasikan momen ketika modernisme berekonsiliasi dengan alam. Rumah dan studio tersebut merupakan sebuah museum. Mungkin, semua rumah arsitek adalah museum. Glancey menyebutnya sebagai pantheon pribadi.
 
Lalu, mampukah rumah pribadi yang dirancang oleh seorang arsitek "menelanjangi" dirinya? Menurut Jonathan Glancey jelas mampu. Ketua Kehormatan IAI Jakarta Her Pramtama juga setuju. Hanya, Her mengungkapkannya dengan sedikit ambigu.
 
"Terkadang idealisme arsitek tidak bisa sepenuhnya dicurahkan dalam suatu proyek karena adanya intervensi dari klien atau owner. Baik intervensi yang sangat dominan, maupun yang tidak terlalu dominan," ujar Her kepada Kompas.com, di Jakarta, Rabu (14/8/2013).

Arsitek wajib meminta persetujuan atas usulan desainnya kepada sang pemilik sebelum dibangun. Nah, ketika arsitek dihadapkan harus merancang rumahnya sendiri, maka arsitek tidak memerlukan persetujuan kepada siapa pun. Kecuali istri, maupun anaknya. Kebebasan dalam hal tersebut mendorong arsitek mengoptimalisasi semua pemikiran idealismenya dalam rancangannya.

 
"Jadi, tidak semudah itu menyatakan bahwa karya arsitektur rumah sang arsitek merupakan refleksi dirinya. Ini tidak mudah. Sebaliknya, ini suatu kondisi yang sangat rumit! Arsitek dihadapkan ke dalam suatu 'kemewahan' dalam mengambil suatu keputusan. Dalam kondisi ini, arsitek selalu menghadapi kesulitan mengambil keputusan yang cepat. Jika akhirnya idealisme pemikirannya diwujudkan di dalam rumahnya, maka akan menjadi kesempatan seorang arsitek, untuk mengenalkan pemikirannya pada proyek-proyek lainnya," imbuhnya.
 
Sisi positifnya, lanjut Her, akan menjadi nilai tambah dalam kompetensinya sebagai arsitek yang mumpuni. Atau, jika eksperimennya gagal alias tidak berhasil akan menurunkan kredibilitasnya sebagai arsitek.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau