KOMPAS.com - Sebuah tempat memiliki makna berbeda-beda bagi tiap individu. Bagi orang-orang awam, Centre Pompidou di Paris tidak ubahnya sebuah gedung berfasad rumit, mirip lokasi konstruksi yang belum rampung, atau sekedar tempat berkumpul dan melihat karya seni. Tentu, pandangan ini jauh berbeda bagi penduduk Paris dan pemerhati arsitektur.
"Le Centre national d’art et de culture Georges-Pompidou (CNAC)", "Centre Georges-Pompidou", "Centre Pompidou", atau sekedar "Beaubourg" merupakan sebutan bagi gedung yang ada di atas lahan seluas dua hektar di 19 Rue Beaubourg, Paris, Prancis. Ternyata, gedung ini tidak hanya sebatas fasadnya yang unik.
Richard Rogers, arsitek asal Inggris mengungkapkan bahwa elemen kunci pada Centre Pompidou di Prancis, yang ia desain bersama arsitek Italia Renzo Piano sangat terpengaruh oleh pemikiran radikal tahun 1960-an.
Sebenarnya, Centre Pompidou lahir dari kompetisi yang diinisiasi oleh pemerintah Perancis pada 1970. Bangunan tersebut rampung pada 1977. Meski dibangun dan rampung selepas tahun 1960-an, namun secara politis bangunan tersebut masih mengenang protes keras dari pelajar dan pekerja di tahun 1968. Rogers berkomentar, "Momen tersebut hampir mengubah sejarah, khususnya bagi Eropa. Tampaknya hampir seperti revolusi. Pada kenyataannya, hal tersebut tidak terjadi. Namun kami menangkap sesuatu dari hal tersebut bagi bangunan ini."
Rogers menambahkan, tahun-tahun tersebut merupakan periode politik yang sangat aktif. Anda dapat berargumen bahwa hal tersebut bagian dari konsep (bagi bangunan ini). Ini merupakan periode dinamis, periode perubahan, namun pihaknya ingin menangkap apa yang terjadi pada saat itu.
Tidak hanya dari segi arsitektur dan konstruksi, nama gedung ini pun ada kaitannya dengan gejolak politik pada saat itu. George Pompidou merupakan perdana menteri Perancis ketika protes terjadi. Setelah itu, ia menjabat sebagai presiden setelah Chales de Gaulle dipaksa mengundurkan diri. Sayangnya, ia wafat ketika bangunan ini belum rampung.
Pada desain asli yang diajukan oleh Rogers dan Piano, fasad utama bangunan ini memiliki layar raksasa. Seharusnya, layar tersebut ditujukan untuk menampilkan informasi dari institusi seni dan kebudayaan di seluruh dunia. Fasad bangunan ini, sebenarnya menampilkan pemberontakan dan banyak hal mengenai Vietnam. Isu tersebut merupakan hal yang mengemuka dalam proses pembuatan gedung. Sayangnya, kematian Pompidou membawa nasib desain tersebut berada di tangan Presiden Giscard. Ia menolak desain karena merasa desain tersebut sebagai senjata politik.
Pada dasarnya, Roberts dan Piano, serta semua orang yang terlibat dalam pembuatan gedung ini menginginkan sebuah bangunan unik. Bangunan yang tidak sesuai dengan desain lazim pada zamannya.
Karena tidak "ramah" dengan zamannya, bangunan ini mendapat kecaman dari berbagai pihak bahkan sejak hari pertama pembangunannya. Bagi Rogers, daya kejut dari
karya arsitektur merupakan penanda kekuatan arsitektur tersebut. Semua arsitektur bagus merupakan modern di jamannya. Gothic merupakan alat kejut fantastis, Renaissance merupakan kejutan lain di antara bangunan abad pertengahan. Kejutan baru selalu sulit untuk dilupakan.
Sambutan sinis terhadap Centre Pompidou berangsur surut. Seiring waktu, Rogers terus menekankan bahwa proyek bangunan tersebut memang didesain khusus "bagi penduduk". Pasalnya, pada saat pembuatan pusat kegiatan ini, tidak ada ruang publik tersedia di area tersebut. Itulah inti dari Pompidou, tempat berkumpul semua orang, yang "kebetulan" dibangun pada masa-masa sulit serta menjad buah tangan dari kejadian di tahun 1960-an.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.