Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Balik Modal Hotel Mewah, Lebih dari Satu Dekade!

Kompas.com - 13/07/2013, 14:11 WIB
Hilda B Alexander

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com- Selain Bali, Jakarta tetap menjadi parameter utama pertumbuhan sektor perhotelan. Berbagai klasifikasi fasilitas penginapan telah dan akan terus dikembangkan di bumi Batavia ini sehingga pertumbuhannya mencapai 10 sampai 12 persen per tahun.

Namun, dari semua kelas hotel yang beroperasi dan segera dibuka di Ibu Kota Negara ini, pertumbuhan kelas bintang lima plus (upscale) adalah yang paling menarik dicermati. Jika 2010-2011 silam, hotel murah mencapai masa kejayaannya, kini giliran hotel kelas mewah.

Jones Lang LaSalle melaporkan, hingga akhir 2012, pasar hotel kelas atas Jakarta mencatat tingkat okupansi rerata 64 persen dengan tarif harian (average daily room rate/ADR) 151 dollar AS (Rp 1.496.530). Bila dibandingkan dengan pencapaian tahun ini, terjadi pertumbuhan tingkat okupansi sebesar 0,3 persen menjadi 67 persen dan ADR sebesar 10,6 persen menjadi 168 dollar AS (Rp 1.665.010).

Kinerja tersebut dipandang menarik oleh beberapa pelaku bisnis perhotelan. Apalagi tendensi meningkatnya tingkat hunian dan ADR akan terus berlanjut, seiring dengan potensi pertumbuhan ekonomi yang mendorong tingginya intensitas kegiatan bisnis.

Terdapat setidaknya tujuh brand baru yang didatangkan jaringan hotel internasional ke Jakarta yang bekerjasama dengan pengembang Nasional. Ketujuh brand tersebut adalah Fairmont, St. Regis, Westin, W, Raffles, Rosewood, dan The Langham.

Padahal, menurut Head of Research & Advirosy Cushman and Wakefield Arief Rahardjo, investasi di hotel mewah merupakan investasi jangka panjang. Pengembalian investasi tak bisa secepat bermain saham atau valuta asing.

"Selain itu, risikonya jauh lebih tinggi ketimbang investasi di sektor perkantoran atau pun apartemen. Karena, begitu hotel mewah ini dibuka, tidak ada yang dapat menjamin capaian tingkat okupansinya. Siapa pula yang akan menginap di hotel ini?," ujar Arief kepada Kompas.com, di Jakarta, Sabtu (13/7/2013).

Hal senada dikemukakan Head Capital Market and Investment Knight Frank, Fakky Ismail Hidayat. Menurutnya, tarif kamar (room rate) hotel bintang lima tidak mencukupi development cost yang dikeluarkan pengembang.

"Kalau tidak bisa menggandeng brand yang betul-betul bonafid, jangan coba-coba bermain di kelas ini," imbuh Fakky.

Arief dan Fakky sepakat, investor yang bermain di hotel kelas mewah adalah mereka yang memiliki konstruksi finansial yang kokoh. Karena untuk membangun satu kamar penginapan kelas ini nilainya mencapai miliaran rupiah.

Sebagai contoh, Raffles Hotels and Residence di Ciputra World Jakarta, yang dikembangkan Ciputra Property, anak usaha Ciputra Group. Untuk membangun satu menara properti yang dikelola jaringan asal Singapura ini, mereka harus merogoh kocek sebesar Rp 1,2 triliun.

Direktur Ciputra Property Artadinata Djangkar mengatakan, angka tersebut adalah ongkos konstruksi satu menara keseluruhan (hotel dan apartemen) di luar investasi lahan. Sementara ongkos konstruksi untuk hotelnya saja, membutuhkan dana sekitar Rp 600 miliar.

Jika dihitung dengan total jumlah kamar Raffles Hotel sebanyak 180 unit, maka biaya pembangunan per kamar hotel supermewah ini akan mencapai sebesar Rp 3,3 miliar!. Sementara, Ciputra Property tak hanya membangun satu, melainkan tiga hotel mewah di lokasi yang sama. Dua lainnya adalah W dan Rosewood.

"Untuk W Hotel, kami menganggarkan biaya sebesar Rp 600 miliar dengan jumlah total kamar 300 unit. Jadi ongkos konstruksinya mencapai Rp 2 miliar per kamar," imbuh Arta seraya menambahkan kisaran room rate yang akan dipatok di hotel Raffles berada pada level 300 dollar AS (Rp 2,9 juta)-325 dollar AS (Rp 3,2 juta) per malam.

Dengan memperhitungkan nilai tanah di koridor Satrio, maka pengembalian modal (payback) Raffles Hotel sekitar 12 tahunan. Bahkan bisa lebih lama lagi karena harga tanah yang terus meroket belakangan ini.

Bandingkan dengan jumlah dana yang dibutuhkan untuk membangun hotel kelas menengah, sebesar Rp 600 juta per unit kamar.

Corporate Marketing Communication Manager Santika Hotels & Resorts, Vivi Herlambang mengungkapkan dengan jumlah kamar rata-rata 200 unit, maka nilai investasi yang dibutuhkan sekitar Rp 120 miliar. Jauh lebih rendah ketimbang investasi hotel mewah.

"Waktu pengembalian investasi sekitar 7 tahun. Itu dengan asumsi tarif bersih kamar per malamnya mencapai Rp 700 juta," tandas Vivi.

Wajar bila suplai hotel lima berlian di Jakarta tidak semasif kelas di bawahnya. Terakhir adalah nama-nama seperti Kempinski, Ritz Carlton Pacific Place dan The Luxury Collection. Namun demikian, kenaikan room rate yang terjadi selama tiga tahun terakhir, merupakan faktor pendorong yang menarik minat pengembang membangun hotel untuk kalangan the haves.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau