JAKARTA, KOMPAS.com- Sebagai implikasi logis pertumbuhan sektor properti, bermunculan rencana-rencana pembangunan pencakar langit. Fenomena tersebut terjadi sejak sebelum krisis 1997/1998.
Generasi pertama adalah Menara Jakarta. Prasada Japa Pamudja, sebagai perusahaan sindikasi yang terdiri atas beberapa pemegang saham, bermimpi dapat mendirikan sebuah "mercusuar" setinggi 558 meter tersebut. Di atas area seluas 306.810 meter persegi, di kawasan Kemayoran, gedung ini akan berdiri dan diproyeksikan menjadi land mark Jakarta.
Akan tetapi, krisis multidimensi kadung melanda Ibu Kota dan keterbatasan finansial menjadi kendala. Hingga kemudian, Menara Jakarta tinggal "fosil" belaka. Kalau pun sekarang diambil alih oleh pemegang saham baru, masalah "fulus" tetap menjadi kendala utama. Di samping kekhawatiran, jika ini terbangun, siapa penyewa atau pembeli ruang-ruang di dalamnya nanti?
Menara Jakarta tak sendiri. Setelah krisis, ada rencana pembangunan beberapa pencakar langit lainnya, seperti Kuningan Persada dan BDNI Tower. Sayangnya, alih-alih menggantikan Jakarta Tower, keduanya malah mangkrak di tengah jalan.
Namun begitu, mangkraknya proyek-proyek tersebut tak menyurutkan proyek lainnya. Jones Lang LaSalle (JLL) mencatat tahun 2009, jumlah gedung jangkung di atas 150 meter atau kurang dari 300 meter di Jakarta baru 40. Saat ini sudah bertambah menjadi 75. Berarti jumlahnya meningkat hampir dua kali lipat hanya dalam waktu tiga tahun.
JLL memproyeksikan jumlah gedung pencakar langit di tahun 2015 akan bertambah menjadi 150, dan lima tahun setelahnya atau tahun 2020 membengkak menjadi 250. Tiga di antaranya adalah Signature Tower, BUMN Tower dan Telkom Tower. Namun, apakah seluruhnya dapat terbangun?
Ada banyak hal yang membuat realisasi skyscraper menjadi sangat kompleks. Biaya adalah salah satu unsur penting yang besar pengaruhnya terhadap kelancaran pembangunan. Jika dana yang dialokasikan mencukupi atau syukur-syukur lebih, maka desain arsitektural seaneh, seunik, dan setinggi apa pun bisa diwujudkan.
Dengan kata lain, semakin tinggi dan "out of the box" sebuah bangunan, akan kian membengkak pula dananya. Di Jakarta saja saat ini ongkos konstruksi sudah berada pada angka 800 dollar AS per meter persegi atau senilai Rp 7,7 juta.
CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono, mengatakan dana memang menjadi momok bagi pembangunan skyscraper. Namun, itu semua kembali berpulang kepada kesiapan dan pertumbuhan ekonomi.
"Jika kondisi pasar masih bagus dalam arti permintaan melebihi pasokan, maka kemungkinan pencakar-pencakar langit itu terserap pasar, sangat besar. Umumnya, gedung-gedung tersebut akan dibangun, bila telah mendapatkan pra komitmen sebanyak 30 hingga 50 persen dari penyewa atau pembeli," imbuh Hendra kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.