Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warga Jakarta Destruktif?

Kompas.com - 16/06/2013, 13:26 WIB
Tabita Diela

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak hal menarik yang terjadi di Jakarta. Sebagai "kampung besar", Ibu Kota Negera kita ini adalah tempat berkumpulnya jutaan orang dengan latar belakang berbeda. Berbeda secara etnis, budaya, agama, sifat dan bahkan kepentingan. Sehingga muncul sebuah kecenderungan bahwa warga Jakarta yang berbeda tersebut, destruktif atau merusak. Kecenderungan tersebut semakin membesar kala memiliki uang dan kekuasaan.

Hal tersebut disampaikan Kepala Sub Direktorat Kebijakan dan Strategi Perkotaan Direktorat Perkotaan Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum, Endra Atmawidjaja, dalam dialog Komunitas Peta Hijau Jakarta, Sabtu (15/6/2013).

Endra mengungkapkan warga Jakarta memiliki kecenderungan sifat destruktif atau merusak.  Destruktif tidak hanya fisik, tapi juga sosial. Akan tetapi, kadar sifat negatif tersebut sebetulnya dapat dikurangi dengan sebuah pengembangan perkotaan yang hijau dan berkelanjutan. Konsep perkotaan ini biasa disebut dengan sustainability green metropolis.

"Sayangnya, Pemprov DKI Jakarta tidak akan mampu menangani masalah ini, karena yang mampu menanganinya adalah orang yang punya "capital" banyak," ujar Endra kepada Kompas.com, diJakarta, Sabtu (15/6/2013).

Hal senada disampaikan Pegiat Jakarta Hijau Nirwono Joga. Sifat destruktif warga Jakarta akan sulit ditangani oleh Pemprov. Karena, 70 persen perkembangan kota itu dipengaruhi dan ditentukan oleh para pengembang properti pemegang kapital. Hanya pihak-pihak dengan modal besar yang mampu "menyetir" arah pembangunan kota ini.

Sementara itu, Ahmad Syarifuddin, aktivis Gerakan Bensin Tanpa Timbal serta tokoh yang pernah menjadi Direktur Walhi Jakarta mengungkapkan pendapat dari sudut pandang lain. Menurutnya, sifat destruktif tersebut terjadi karena warga Jakarta tidak punya rasa memiliki, apalagi tanggung jawab. Warga Jakarta sangat sibuk sehingga kesan "hanya menumpang", tak terelakkan. Secara sosiologis, tanggung jawabnya menjadi kurang.

"Dalam konteks lain, pengambil kebijakan juga tidak mengakomodasi kebutuhan warganya. Hal tersebut tambah memperkuat anggapan bahwa Jakarta ini hanya tempat singgah sementara. Kondisi ini membuat mereka berpikir pragmatis saja," ujarnya.

Jakarta, lanjut Ahmad, 47 tahun mendatang tidak akan sama dengan Jakarta saat ini. Masalahnya, warga Jakarta belum tentu mampu berhadapan dengan kemajuan zaman. Seratus tahun yang lalu orang sudah berpikir tentang green city. Sementara kita tertinggal 100 tahun.

Tahun 1960-an Perdana Menteri Singapura masih belajar mengenai ruang terbuka hijau di kawasan Menteng. Kini, mereka punya program ABC (active, beautiful, competitive) city in the garden, bukan lagi garden in the city.

Apa masalah krusialnya sehingga posisi Jakarta terbelakang dibanding Singapura? Migrasi urban salah satunya. Para migran tak dididik bagaimana menjadi warga kota yang baik. Sehingga Jakarta menjadi korban ambisinya sendiri. Sementara law of attraction semuanya ada di Jakarta.

Berbeda dengan Seoul, Ibu Kota Korea Selatan. Mereka punya sistem dan mekanisme sendiri bagaimana migrasi urban tidak menjadi masalah. Sebelum menjadi warga Seoul, para migran dari desa harus masuk kamp pelatihan dulu untuk dididik menjadi warga Seoul yang modern dan beradab. Jangan sampai Seoul menjadi kota rasa desa. Jakarta harus belajar juga pada Singapura dan Seoul.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau