Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Amdal Diabaikan, Banjir dan Macet Kemudian

Kompas.com - 16/06/2013, 12:20 WIB
Tabita Diela

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Sudah menjadi rahasia umum di Jakarta ini terjadi praktik "jual beli" ijin dan lebih jauh lagi regulasi. Terutama Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Alih-alih penataan ruang kota Jakarta dapat meningkatkan kualitas hidup warganya, malah bencana yang datang kemudian. Kemacetan dan banjir adalah produk dari praktik "pat gulipat" yang ditengarai kerap terjadi antara oknum Pemprov DKI Jakarta dan pengembang properti.

Hal tersebut disampaikan pegiat Jakarta Hijau, Nirwono Joga, dalam dialog Komunitas Peta Hijau Jakarta. Menurutnya praktik yang berlaku di lapangan menunjukkan adanya ketidaktegasan pemerintah dalam mengatur regulasi dan menata ruang. Ia menuding, pengembang properti kini justru lebih berani "menyetir" pemerintah dengan mengajukan rencana pembangunan yang celakanya, kemudian dilegalisasi.

Mereka mengantongi izin, mendapatkan fasilitas serta akses dari pemerintah. Padahal, belum tentu proyek tersebut memenuhi ketiga dimensi Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), yaitu sosial, ekonomi dan ekologi. Sampai saat, lanjut Nirwono, ia belum pernah melihat penghentian proyek, meski ketiga Amdal tersebut tidak terpenuhi.

"Hal ini tidak bisa berlangsung selamanya. Ini menyangkut masa depan Jakarta. Kota ini harus bebas macet dan banjir. Untuk itu diperlukan ketegasan dari pemerintah. Tinggal diatur saja regulasinya. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) tidak boleh dikeluarkan jika mereka tidak dapat memenuhi 30 persen kawasan proyeknya sebagai ruang terbuka hijau (RTH)," ujar Nirwono kepada Kompas.com, di Jakarta, Sabtu (15/6/2013).

Beberapa pengembang hanya memenuhi Amdal Lingkungan. Itu pun terbatas pada "tidak menyebabkan banjir" atau "menanam pohon". Mereka lupa dengan Amdal lain, seperti kemungkinan lokasi proyek tersebut menyebabkan kemacetan dan sumber polusi lingkungan. Seringkali mereka juga abai terhadap Amdal Sosial yang membuat jurang kemiskinan semakin lebar.

Padahal, untuk diketahui, 70 persen perkembangan kota itu dipengaruhi oleh aksi pengembang. Artinya, kalau pengembang concern terhadap lingkungan, kota dapat menyelesaikan masalah lingkungan dengan tepat. Jangan sampai tata ruang jadi tata uang. Di sini peranan pemerintah mengatur regulasi dan menata ruangnya secara ketat. Pengembang properti tinggal mengikuti rencana pengembangan tadi.

Sementara itu, pengamat perkotaan Yayat Supriatna berpendapat, Amdal harus dapat mengakomodasi realitas  yang terjadi di lapangan. Amdal yang terperinci adalah Amdal yang aspiratif, menyerap segala persoalan yang terjadi di masyarakat. Karena ada pra konstruksi, konstruksi, dan pasca konstruksi.

"Jadi, setiap proses itu harusnya diikuti, berikut dengan dampak yang ditimbulkan, juga terkait dengan masalah dampak sosial maupun secara ekonomi," imbuhnya.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau