Kondisi aktual tersebut mencuatkan sebuah pertanyaan menggelitik, perlukah "Tata Ruang Watch" untuk Jakarta, agar segala macam pembangunan dapat dikontrol secara transparan?
Jakarta diakui memiliki masalah kritis dan meresahkan mengenai Tata Ruang. Namun, hingga kini, ketika sudah banyak terjadi "malpraktek" peruntukan lahan, tidak ada langkah nyata dari Pemerintah Provinsi guna menyelesaikannya.
Kepala Sub Direktorat Kebijakan dan Strategi Perkotaan Direktorat Perkotaan Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum Endra Atmawidjaja dalam dialog Komunitas Peta Hijau bertajuk "Wujudkan Jakarta Hijau", mengusulkan sebuah lembaga yang dapat memonitor dan mengontrol konsep dan pelaksanaan Tata Ruang Kota.
"Ini diperlukan supaya masyarakat tahu mengapa terjadi kekacauan. "Tata Ruang Watch" juga dapat dijadikan wadah untuk menampung aspirasi masyarakat yang selama ini bungkam namun resah melihat kondisi aktual Jakarta," ujar Endra kepada Kompas.com, di Jakarta, Sabtu (15/6/2013).
Sementara pengamat perkotaan Yayat Supriatna mengatakan, perlu ada komisi untuk memediasi kepentingan dan harapan masyarakat dengan apa yang ada di lapangan. Lebih dari itu, diperlukan lagi keterbukaan informasi mengenai Tata Ruang.
"Selama ini masyarakat mengalami kesulitan, harus di bawa ke mana ketika terjadi konflik mengenai Tata Ruang sulit," ujar Yayat.
Sebetulnya, sarana untuk memediasi sengketa Tata Ruang sudah ada. Bisa melalui Ombudsman. Ia berfungsi sebagai penengah masalah dan sengketa antara masyarakat dan pemerintah terkait urusan Tata Ruang dan Tata Kota. Seperti yang pernah dialami warga Munjul, Jakarta Timur. Meski kalah secara hukum, namun karena ada advokasi, kasus ini gaungnya mendunia.
"Secara kontekstual, konflik Tata Ruang memang harus ada advokasi sendiri," ujar Ahmad Syarifuddin, pendamping warga Munjul dalam konflik Tata Ruang.