Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasib Tabungan Perumahan Rakyat Masih Menggantung!

Kompas.com - 01/06/2013, 12:01 WIB
Tabita Diela

Penulis

TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com - Berbeda dengan Singapura yang serba praktis, taktis dan telah lama menuntaskan permasalahan perumahan rakyatnya. Indonesia justru masih berkutat pada alasan-alasan normatif. Sehingga sampai hari ini, RUU Tapera masih jalan ditempat. Apa yang masih menjadi masalah krusial sebenarnya?

Menteri Negara Perumahan Rakyat, Djan Faridz mengungkapkan RUU belum rampung karena masih ada perdebatan yang hangat antara pemerintah dan DPR terkait perbedaan besaran iuran. Padahal Panitia Khusus DPR untuk penyusunan RUU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menargetkan tuntas Juli 2013 mendatang. RUU Tapera ini sangat penting karena merupakan salah satu solusi mengatasi kekurangan rumah rakyat. Namun, kurang dari dua bulan berselang, DPR dan pemerintah gagal mencapai kata sepakat.

"Kami belum satu suara soal penentuan besaran iuran yang akan diambil dari penghasilan pekerja. Masing-masing punya argumentasi sendiri sehingga belum menemui titik kompromi," ujar Djan kepada Kompas.com di Tangerang, Jumat (31/5/2013).

Selain soal besaran iuran Tapera, masih ada lagi hal mendasar yang diperdebatkan. Yakni subyek sasaran Tapera. DPR ingin Tapera berlaku untuk seluruh pekerja dengan alasan Undang-undang mengikat seluruh Warga Negara. Sementara pemerintah hanya menyertakan pekerja yang mendapat penghasilan dari negara, melalui BUMN, APBN, dan APBD. Swasta tidak disertakan dengan pertimbangan pemerintah tidak mengatur mereka.

Deputi Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat Pangihutan Marpaung menjelaskan pemerintah menganggap jika pekerja swasta dilibatkan, akan membebani pengusaha. Namun begitu, secara jangka panjang, jika pekerja swasta disertakan akan sangat membantu mereka. Contohnya begini, jika buruh memiliki rumah, artinya UMP yang sekarang mereka terima, sebagian akan digunakan untuk mencicil rumah. Selama ini yang terjadi justru untuk menyewa rumah.

"Jadi uangnya itu tidak hilang. UMP-nya bisa lebih baik. Tidak harus naik tiap tahun kalau mereka sudah memiliki rumah sendiri. Nah, cicilannya disesuaikan dengan gaji. Sebaliknya, jika mereka tidak mampu, pemerintah melalui Tapera akan membangun rumah susun sewa," terangnya.

 

Mengacu Singapura

Untuk mematangkan RUU Tapera, Pansus penyusunan RUU Tapera sengaja mendatangkan perwakilan dari Singapura. Mereka diminta mempresentasikan sistem yang sudah diaplikasikan di sana. Mengapa Singapura? Karena Negara Kota ini terbilang sukses. Mereka memiliki Tapera sejak 1960 dan sudah membiayai 95 persen rumah rakyat.

Singapura tidak serta merta mencetak kesuksesan tersebut. Ketika mereka memulainya, nilai Tapera hanya 50 persen, termasuk asuransi. Namun, seiring dengan manfaat yang didapat, apalagi terkait realisasi perumahan rakyat, jumlah rumah yang dapat dibiayai Tapera terus meningkat. Nilai Tapera Singapura bisa maksimal karena ada kontribusi sebesar 16 persen hingga 22 persen dari pendapatan (income). Berbeda dengan Indonesia, di mana kontribusi pendapatan hanya sebesar lima persen. Sehingga sulit merealisasikan nilai Tapera yang maksimal.

Pangihutan berharap besaran iuran segera disepakati karena Senin besok RUU Tapera masih akan dirapatkan lagi. Selain besaran iuran, materi lain yang akan dibahas adalah mengenai initial budget (modal awal) Tapera.

"Apakah initial budget itu dari pemerintah atau dari yang lain seperti Sarana Multigriya Finansial. Kalau pemerintah mau memasukkan dana untuk Tapera sebesar Rp 1 Triliun atau lebih, itu bisa menjadi modal awal," tandas Pangihutan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau