KOMPAS.com — Kebutuhan rumah di Indonesia memang sangat tinggi. Apalagi, seiring berkembangnya kelas menengah, produk rumah menengah atas semakin banyak peminatnya. Lalu, bagaimana dengan kelas menengah bawah?
Merunut lagi hasil riset Knight Frank Global Cities baru-baru, Jakarta mencatat kinerja mengagumkan dalam pertumbuhan harga rumah mewah, yakni 38,1 persen. Angka ini jauh di atas kota-kota kelas dunia macam Miami, Hongkong, Singapura, London, Tokyo, bahkan New York. Dari 29 kota dunia dalam Indeks Knight Frank Global Cities itu, Jakarta memimpin pertumbuhan harga rumah mewah selama setahun (year on year) 2012-2013. Bahkan, apabila perhitungan persentase dilakukan hanya pada 3 bulan pertama tahun ini pun, Jakarta tetap berada pada peringkat lima besar dunia bersama Monaco, Dubai, dan Los Angeles.
Bangga? Rasanya, tidak, terutama jika melihat kenyataan saat ini, bahwa persoalan hunian layak di Indonesia tak juga tuntas, bahkan semakin kuat memunculkan kesenjangan antara kaum "menengah atas" dan "menengah bawah". Di satu sisi penjualan rumah mewah meningkat pesat, di sisi lain pasokan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah masih sangat kurang (Baca: Harga Rumah Tak Terkejar, Kesenjangan Makin Melebar).
Saat ini, tengoklah ke pameran-pameran perumahan (Baca: Cari Rumah Rp 200 Jutaan? Kunjungi REI Expo 2013!). Rata-rata harga rumah di wilayah Jabodetabek yang dipamerkan itu ditawarkan mulai dari Rp 200-Rp 300 juta sampai miliaran rupiah per unit.
Maka, jika sebuah keluarga menengah bawah dengan gaji Rp 4 juta sampai Rp 5 juta per bulan, misalnya, setidaknya harus bisa punya dana awal Rp 70 juta untuk uang muka kredit rumah. Berapa lama sebuah keluarga bisa menabung hanya untuk cari modal uang muka? Bagaimana nanti bisa mencicil angsuran, sementara gaji sudah dipotong kebutuhan ini dan itu setiap bulannya?
Hingga triwulan I-2013, Januari-Maret, penyerapan rumah bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah sebanyak 22.385 unit senilai Rp 1,121 triliun atau hanya 18,5 persen dari target pemerintah sebanyak 121.000 unit pada tahun ini. Total anggaran untuk penyerapan kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi sebesar Rp 10 triliun yang dihimpun dari dana pemerintah Rp 7 triliun dan perbankan Rp 3 triliun. Artinya? Target memenuhi kebutuhan masyarakat bawah untuk bisa punya rumah masih jauh dari harapan.
Pada pembukaan pameran properti REI Expo ke-26 2013 di Jakarta, Sabtu (4/5/2013) pekan lalu, Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) Sri Hartoyo mengatakan bahwa rendahnya penyerapan disebabkan pasokan rumah sederhana bersubsidi, baik rumah susun maupun rumah tapak, masih sangat sedikit. Hal itu antara lain karena masalah mahalnya harga tanah, khususnya di DKI Jakarta. Selain itu, usulan Kemenpera menaikkan patokan harga rumah susun bersubsidi yang bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) final 1 persen hingga kini belum dikabulkan Menteri Keuangan.
Patokan harga rumah susun bersubsidi diusulkan naik dari Rp 4 juta per meter persegi menjadi Rp 7 juta per meter persegi. Jika ukuran rumah subsidi 36 meter persegi, harganya diusulkan naik dari Rp 144 juta per unit menjadi Rp 252 juta. Artinya, makin jauh saja harganya untuk dijangkau!
Rumah murah cuma mimpi
Menanggapi persoalan makin tidak terkejarnya harga rumah oleh masyarakat menengah bawah, Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Djan Faridz malah menilai hal itu sebagai hal yang wajar, bahwa kenaikan harga rumah tinggi di sejumlah wilayah akibat tren pertumbuhan properti.
"Gap perumahan terjadi karena pembeli masih mau membeli dengan harga tinggi dan kemampuan membeli ada. Pengembang lebih tertarik menggarap segmen ini," ujar Faridz.
Lalu, apakah wajar pula jika kenaikan itu berimbas pada masyarakat menengah bawah?
Berulang kali, Menpera Djan Faridz mengharapkan para pengembang, baik itu yang tergabung dalam asosiasi Real Estat Indonesia (REI) maupun Asosiasi Perumahan dan Permukiman Indonesia (Apersi) bisa lebih banyak membangun rumah murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah di Indonesia. Pertanyaannya, apakah semudah itu harapan Djan Faridz bisa terwujud?
Selama ini, pengembang rumah bersubsidi menyatakan bahwa beban pajak dirasakan masih terlalu tinggi untuk membangun rumah tapak bersubsidi. Biaya membeli lahan masih terlalu mahal ketimbang harga jual. Selain itu, soal perizinan, para pengembang pun menuntut agar Badan Pertanahan Nasional (BPN) perlu menerapkan kejelasan aturan, biaya, dan waktunya.
Pengembang juga berharap, Rancangan Undang-undang Tabungan Perumahan (Tapera) bisa segera terwujud menjadi UU Tapera. RUU yang tengah dibahas oleh Pansus DPR RI ini ditargetkan selesai Juli mendatang dan bisa membantu masyarakat berpenghasilan rendah bisa memiliki rumah laik huni.
Rasanya, mimpi mewujudkan rumah laik bagi masyarakat menengah bawah masih harus dikejar dengan kerja keras. Bukan cuma oleh masyarakat itu sendiri, yang selama ini cuma bisa bermimpi, melainkan juga pemerintah untuk segera bertindak lebih tanggap dan cepat dibantu para pengembang. Semoga memang bukan cuma mimpi!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.