Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jadi, Pembangunan Ini Sesungguhnya untuk Siapa?

Kompas.com - 02/08/2011, 12:17 WIB

"Apalagi kalau nanti sudah punya anak. Makanya sekarang hemat-hemat dulu menabung," katanya.

Kalaupun membeli rumah dengan kredit, ia hanya mampu membeli rumah di kawasan Legok atau Tigaraksa di Kabupaten Tangerang. Di dua lokasi berjarak 20-30 kilometer dari tempat kerjanya itu memang masih ada rumah seharga Rp 40 juta-Rp 60 juta.

"Di dekat tempat kerjaku ada apartemen yang katanya murah. Tapi, ternyata harganya Rp 140 juta. Uang muka katanya bisa Rp 40 jutaan, cicilan minimal Rp 1 juta per bulan selama 15 tahun. Mana sanggup. Apalagi kalau nanti punya anak, kemungkinan saya berhenti kerja dulu," tambah Indri.

Program rumah terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) memang banyak yang tidak tepat sasaran. Hal ini diakui praktisi pengembangan perumahan Real Estate Indonesia, Hari Ganie.

"Pada akhir 1980-an, muncul konsep 1-3-6. Pengembang yang membangun satu rumah mewah harus mengimbanginya dengan tiga rumah kelas menengah dan enam untuk kelas MBR. Akan tetapi, ini sulit karena pemerintah sendiri tidak mendukung," kata Hari.

Pemerintah menyamaratakan harga tanah meskipun peruntukan bangunan perumahannya berbeda. Tingginya harga tanah dan biaya perizinan yang sama seperti membangun rumah mewah membuat keuntungan pengembang menjadi kecil.

Akibatnya, pengembang rumah sederhana sering mengabaikan penyediaan fasilitas sosial dan umum. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah pun enggan mengeluarkan izin.

Arsitektur lanskap, Nirwono Joga, menyoroti tentang program rumah bagi kelompok MBR yang beberapa kali digulirkan pemerintah. Mulai dari konsep 1-3-6, kemudian muncul proyek rumah sederhana sehat yang sebagian besar terletak jauh dari pusat keramaian dan minim fasilitas publik. Terakhir, diluncurkan program 1.000 menara. Semua program itu realisasinya tidak jelas dan kini bisa dikatakan gagal.

Di sisi lain, Ketua Jurusan Penataan Ruang dan Real Estate Universitas Tarumanagara Suryono Herlambang mengatakan, masyarakat berpenghasilan tinggi makin mudah memiliki properti di pusat kota dengan segala kelengkapan fasilitas publiknya.

"Lihat saja slogan back to the city yang diisi apartemen dan town house mewah," katanya.

Kesenjangan pun semakin terjadi. Para pemilik modal dan kelas menengah mendapat fasilitas memadai dan menggunakan mobil-mobil pribadi. Karyawan dan buruh yang termasuk kelompok MBR setiap hari mengalir ke pusat kota berjejalan di dalam dan di atap kereta api, menunggang kuda besi bermesin. Macet, polusi udara, dan risiko mempertaruhkan nyawa rela mereka tanggung. Jadi, sebenarnya pembangunan ini untuk siapa? (NELI TRIANA/ PINGKAN ELITA DUNDU)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com