KOMPAS.com — Pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 2007, di Pulau Sebatik, mewakili seluruh rakyat dari kepulauan Nusantara, kami bersumpah: Tak satu titik pun hilang dari peta bumiku, tak satu pulau pun hilang dari negeriku, akan kujaga kebhinekaan bangsaku: Indonesia.
Kalimat yang menggugah rasa kebangsaan dan keteguhan pendirian terhadap kedaulatan negara itu tertulis di prasasti Bhinneka Tunggal Ika. Bangunan dari keramik hitam itu dibuat peserta lokakarya II dari Departemen Dalam Negeri Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) dan seluruh rakyat di bumi Nusantara.
Prasasti itu ada di Desa Sungai Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Barat, Kabupaten Nunukan, Kaltim. Prasasti itu berada di samping gapura wisata tapal batas negara yang dibuat Pemerintah Kabupaten Nunukan.
Gapura itu menjadi pintu masuk ke Desa Aji Kuning. Sekitar 10 meter di depannya terdapat beberapa rumah yang berada di pinggir Sungai Aji Kuning. Salah satunya adalah rumah panggung khas orang bugis milik Mapangara.
Dari fisiknya, bangunan rumah itu terkesan biasa saja. Yang membedakan dengan lainnya di samping kiri rumah itu terdapat pos tentara Indonesia. Namun, bukan pos itu yang membuat rumah Mapangara menjadi perhatian setiap orang yang ingin ke perbatasan Indonesia-Malaysia di Sebatik.
Orang ingin mengunjunginya karena rumah Mapangara itu letaknya persis di garis perbatasan dua negara. Indonesia dan Malaysia. Bagian depan rumah itu masuk Indonesia, sedangkan dapurnya masuk wilayah Malaysia.
Rumah itu bisa demikian karena berada di garis batas negara yang membagi dua pulau Sebatik, yakni sebelah utara seluas 187,23 kilometer persegi masuk Malaysia. Adapun selatan masuk wilayah Indonesia 246,61 kilometer persegi.
Rumah Mapangara menjadi obyek wisata tapal batas di Pulau Sebatik. Hal itu dikatakan Andi Zakir, tetangga Mapangara. Rumah Andi juga menarik dicermati karena berada di kanan pos tentara Indonesia yang berjarak sekitar lima meter.
Di tengah antara bangunan keduanya terdapat tapal batas perbatasan Indonesia-Malaysia. Sayangnya, kondisi patok batas negara seperti gundukan semen yang nyaris tenggelam dan tak terawat. Di Sebatik, ada 18 patok membagi dua pulau ini menjadi wilayah Indonesia dan Malaysia.
Namun, ungkap Andi, yang menjadi persoalan di sana bukan sekadar rumah Mapangara. Namun, ada kekhawatiran warga setempat bahwa setiap saat kehidupan masyarakatnya yang tenang ini bisa menjadi daerah sengketa setelah masalah ambalat. Sebab, sebagian rumah mereka berada di garis batas negara, yang di perbatasan antarnegara lain barang kali tidak ditemukan. Ia mengatakan, saat ini Malaysia belum mempermasalahkannya.