Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aji Kuning, Prasasti Kedaulatan di Pulau Sebatik

Kompas.com - 13/06/2009, 09:26 WIB

KOMPAS.com — Pada hari Jumat, tanggal 17 Agustus 2007, di Pulau Sebatik, mewakili seluruh rakyat dari kepulauan Nusantara, kami bersumpah: Tak satu titik pun hilang dari peta bumiku, tak satu pulau pun hilang dari negeriku, akan kujaga kebhinekaan bangsaku: Indonesia.

Kalimat yang menggugah rasa kebangsaan dan keteguhan pendirian terhadap kedaulatan negara itu tertulis di prasasti Bhinneka Tunggal Ika. Bangunan dari keramik hitam itu dibuat peserta lokakarya II dari Departemen Dalam Negeri Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) dan seluruh rakyat di bumi Nusantara.

Prasasti itu ada di Desa Sungai Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Barat, Kabupaten Nunukan, Kaltim. Prasasti itu berada di samping gapura wisata tapal batas negara yang dibuat Pemerintah Kabupaten Nunukan.

Gapura itu menjadi pintu masuk ke Desa Aji Kuning. Sekitar 10 meter di depannya terdapat beberapa rumah yang berada di pinggir Sungai Aji Kuning. Salah satunya adalah rumah panggung khas orang bugis milik Mapangara.

Dari fisiknya, bangunan rumah itu terkesan biasa saja. Yang membedakan dengan lainnya di samping kiri rumah itu terdapat pos tentara Indonesia. Namun, bukan pos itu yang membuat rumah Mapangara menjadi perhatian setiap orang yang ingin ke perbatasan Indonesia-Malaysia di Sebatik.

Orang ingin mengunjunginya karena rumah Mapangara itu letaknya persis di garis perbatasan dua negara. Indonesia dan Malaysia. Bagian depan rumah itu masuk Indonesia, sedangkan dapurnya masuk wilayah Malaysia.

Rumah itu bisa demikian karena berada di garis batas negara yang membagi dua pulau Sebatik, yakni sebelah utara seluas 187,23 kilometer persegi masuk Malaysia. Adapun selatan masuk wilayah Indonesia 246,61 kilometer persegi.  

Rumah Mapangara menjadi obyek wisata tapal batas di Pulau Sebatik. Hal itu dikatakan Andi Zakir, tetangga Mapangara. Rumah Andi juga menarik dicermati karena berada di kanan pos tentara Indonesia yang berjarak sekitar lima meter.

Di tengah antara bangunan keduanya terdapat tapal batas perbatasan Indonesia-Malaysia. Sayangnya, kondisi patok batas negara seperti gundukan semen yang nyaris tenggelam dan tak terawat. Di Sebatik, ada 18 patok membagi dua pulau ini menjadi wilayah Indonesia dan Malaysia.

Namun, ungkap Andi, yang menjadi persoalan di sana bukan sekadar rumah Mapangara. Namun, ada kekhawatiran warga setempat bahwa setiap saat kehidupan masyarakatnya yang tenang ini bisa menjadi daerah sengketa setelah masalah ambalat. Sebab, sebagian rumah mereka berada di garis batas negara, yang di perbatasan antarnegara lain barang kali tidak ditemukan. Ia mengatakan, saat ini Malaysia belum mempermasalahkannya.

Di Sungai Melayu, Sebatik misalnya, sekitar 84 dari 303 meter jalan semenisasi yang dibangun Pemerintah Indonesia tahun 2002 untuk saran jalan ke areal sawah seluas 290 hektar di sana diklaim masuk wilayah Malaysia. Klaim seperti ini, apabila tidak diperhatikan serius, mengganggu kehidupan warga di daerah tersebut.

Di Aji Kuning, selain beberapa bangunan rumah tepat berada di titik batas kedua negara, di seberang sungai setempat yang masuk wilayah Sebatik, Malaysia, ternyata juga dihuni oleh sebagian warga Indonesia. Mereka masih memiliki hubungan keluarga dengan warga Desa Sungai Aji Kuning.

Kawasan Aji Kuning bisa menjadi kawasan permukiman warga yang demikian bukan tercipta karena dibangun khusus. Daerah ini sejak dulu hingga kini menjadi salah satu jalur masuk barang-barang dari negeri jiran tersebut.

Berbagai barang yang datang dari Malaysia lewat sana bukan sekadar buat kebutuhan sehari-hari warga Sebatik, tetapi juga dikirim ke Nunukan dan Tarakan. Beberapa barang yang masuk melalui Aji Kuning itu di antaranya gula, gas elpiji, berbagai kue kering, ayam pedaging, telur, semen, pupuk, minuman kaleng, bawang putih, dan pakaian.

Sebaliknya, berbagai hasil pertanian dari Sebatik, seperti kakao, sawit, ikan teri, dan beras dijual ke Tawau, salah satunya melalui Sungai Aji Kuning.

Melihat pola perdagangan ini saja, hal itu menunjukkan bahwa ketergantungan hidup warga Sebatik dengan Tawau tinggi. Akses warga memang lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau menjual hasil usahanya ke Tawau, ketimbang ke Tarakan atau daerah lainnya di Kaltim.

Untuk sekali menyeberang ke Tawau dengan speedboat membayar Rp 40.000 dan cukup memakai pas lintas batas bagi warga setempat. Adapun kalau bepergian ke Tarakan dengan speedboat harus membayar Rp 170.000 per penumpang.

Kemudahan akses inilah yang membuat hasil pertanian, seperti kakao, sawit, beras, dan pisang, dijual ke Tawau. Hasil tangkapan ikan juga hampir semuanya dipasok ke sana. Dalam jumlah terbatas, rokok kretek dan batik juga kerap mereka bawa ke sana. Saat ini, harga kakao lumayan bagus, yakni per kilogram kakao Rp 6-6,5 ringgit atau sekitar Rp 18.000. Hal itu dikatakan Ramli, petani kakao di Aji Kuning.

Hal yang sama juga dibenarkan Ibu Rose, pedagang pengumpul di Sebatik. Namun, Rose mengungkapkan, perdagangan ke Tawau itu tidak selalu menguntungkan sebab harga setiap saat bisa berubah karena ditentukan oleh para pedagang atau penampung di Tawau.

Saya baru-baru ini rugi 5.000 ringgit karena begitu sampai di Tawau harga kakao turun di bawah harga beli di Sebatik, yang hanya 5 ringgit per kilogram. Demikian ungkap Ibu Rose yang sebulan dua kali ke Tawau menjual 70 kilogram kakao sekali pergi. Selain Rose, di Sebatik saat ini ada sekitar 10 penampung hasil pertanian dari warga Sebatik untuk dijual ke Tawau.

Menurut Rose, pihaknya terpaksa menjualnya karena tidak mungkin membawa pulang kembali ke Sebatik, apalagi di Sebatik sendiri sampai saat ini tidak tersedia gudang penampung atau pabrik pengolahan.

Sulitnya melepas ketergantungan ini menjadi persoalan tersendiri selain masalah ambalat. Kondisi yang demikian juga menjadi potret serupa pada desa atau kecamatan di Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia.

Saat tim Ekspedisi Garis Depan Nusantara yang menjelajahi 92 pulau terluar di Indonesia tiba di Sebatik, anggota ekspedisi dari Wanadri, Apran, berkata, warga mengatakan bosan didatangi pejabat kita yang cuma janji-janji. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau