Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Waris Istana Pagaruyung

Kompas.com - 16/04/2009, 00:36 WIB

Ketertarikan Upik pada enau dimulai dari lingkungan masa kecilnya di Istana Pagaruyung. Di sini pohon enau dianggap liar, meski hampir seluruh bagiannya bisa dimanfaatkan masyarakat setempat.

Enau tak hanya diambil ijuknya, tetapi juga disadap niranya untuk bahan baku pembuatan gula aren, atau dijadikan suguhan untuk diminum langsung. Ketika melakukan penelitian di Kanagarian Andaleh Baruah Bukik, Kecamatan Sungayang, Tanah Datar, nira menjadi suguhan gratis bagi pendatang. Adapun gula arennya dipakai untuk hampir semua masakan Minang.

Daun enau tak dibuang begitu saja. Daun enau yang telah dihilangkan lapisan lilinnya dipakai untuk pembungkus rokok. Upik tahu persis bagaimana cara menghilangkan lapisan lilin itu.

Dari prinsip dasar bahan bakar nabati, ia yakin enau berpotensi sebagai bahan bakar alternatif, mengingat kandungan karbohidratnya tinggi. Hanya saja, siapa yang akan memikirkan cara mengolah enau?

"Ketertarikan saya pada enau tak bisa lepas dari masalah sosial-budaya karena berbagai persentuhan saya dengan enau, selain pertimbangan sosial-ekonomi," ujarnya.

Pertimbangan kedekatan masyarakat dengan jenis tanaman ini, kata Upik, seharusnya menjadi pola pemerintah agar berhasil melaksanakan program penanaman pohon. "Kalau masyarakat hanya disuruh, program tak akan berhasil karena mereka tak tahu manfaat pohon itu," papar Upik yang juga dikenal sebagai penyair bernama samaran Upita Agustine.

Lebih jauh Upik melihat bahwa masyarakat Minang tak sekadar menganggap enau sebagai pohon yang memberi penghasilan ekonomi, tetapi juga sebagai salah satu tumbuhan konservasi. Hukum adat di masyarakat Minangkabau melindungi tumbuhan yang ada di hutan, termasuk enau. Tumbuhan seperti ini tidak boleh ditebang sembarangan.

Dia berpendapat, ada nilai pelestarian lingkungan yang dianut masyarakat sejak dulu, apalagi enau terkenal sebagai tumbuhan yang bisa hidup pada kemiringan tanah sampai 20 persen, serta sebaran akar serabut hingga 10 meter dengan kedalaman tiga meter.

"Sayang kearifan lokal itu makin luntur. Siapa yang punya uang bisa seenaknya menebang pohon, maka yang terjadi banyak bencana," kata keturunan ke-13 Raja Pagaruyung tersebut.

Kesempatan setara

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com