Kayu biasa dimanfaatkan untuk membuat kerangka atap bangunan, daun pintu, jendela bahkan sekat rumah.
Selain itu, banyak orang menggunakan kayu sebagai bahan baku bangunan untuk memberikan nuansa yang lebih estetik, kokoh, dan alami.
Namun tak sedikit juga yang memprotes penggunaan bahan kayu secara besar-besaran. Alasannya, semakin banyak kayu digunakan maka berdampak pada semakin besarnya deforestasi hutan di dunia.
Meskipun kayu dilihat sebagai bahan bangunan yang hebat pada masa depan, namun apakah mungkin untuk terus menebang pohon dan mengambil kayunya sambil tetap menyebutnya berkelanjutan.
Jutaan hektar hutan lenyap
Archdaily menulis, penggunaan kayu seringkali dikaitkan dengan deforestasi, yang tidak hanya merusak ekosistem dan habitat, tetapi juga memicu perubahan iklim ekstrem.
Menurut laporan World Wide Fund for Nature (WWF), jumlah kayu yang ditebang di dunia diperkirakan meningkat tiga kali lipat pada 2050 mendatang.
Permintaan kayu dan kertas cenderung meroket dengan peningkatan populasi dan pendapatan di negara berkembang.
Laporan The State of the World's Forests 2020 menyatakan bahwa sejak 1990, diperkirakan 420 juta hektar hutan telah hilang melalui konversi untuk penggunaan lahan lain, meskipun laju deforestasi telah menurun selama tiga dekade terakhir.
Antara 2015 dan 2020, laju deforestasi diperkirakan mencapai 10 juta hektar per tahun, turun dari 16 juta hektar per tahun pada tahun 1990-an.
Akan tetapi, total luas hutan primer di seluruh dunia masih menurun lebih dari 80 juta hektar sejak tahun 1990.
Lebih dari 100 juta hektar hutan terkena dampak negatif dari kebakaran hutan, hama, penyakit, kekeringan oleh spesies invasif, dan kejadian iklim yang merugikan.
Masih menurut WWF, pada 2019 daerah tropis bahkan kehilangan sekitar 30 lapangan sepak bola pohon setiap menitnya.
Penyebab paling signifikan dari deforestasi adalah perluasan pertanian dan peternakan, dan kebakaran hutan juga meningkat dalam frekuensi dan intensitasnya dalam beberapa tahun terakhir.
Kayu dalam pandangan konstruksi sipil
Para ahli konstruksi sipil selalu meyakini bahwa menggunakan kayu untuk kebutuhan bangunan pastinya akan menuntut penebangan kayu atau deforestasi hutan.
Setiap keputusan dalam sebuah proyek akan menghasilkan semacam dampak terhadap lingkungan.
"Karena itu, memahami bagaimana mengurangi dampak ini sangat penting untuk keberlanjutan jangka panjang yang nyata," kata Arsitek dan Urbanis dari Federal University of Santa Catarina (UFSC) Eduardo Souza, Selasa (08/12/2020).
Eduardo menjelaskan bahwa kayu sangat cocok untuk meningkatkan keberlanjutan pembangunan. Meski memang harus dilakukan dengan cara penebangan hutan.
Bangunan berbahan kayu lebih disukai daripada bangunan yang terbuat dari beton, batu bata, alumunium dan baja.
Karena kayu adalah bahan yang terbarukan, jika ekstraksi dilakukan dengan hati-hati. Artinya, tidak seperti sumber daya tak terbarukan seperti minyak bumi, batu bara, batu, atau sumber daya alam lainnya.
"Hutan dapat terus tumbuh secara normal meskipun beberapa pohon ditebang. Jika pengelolaan hutan berkelanjutan dilakukan dan pohon sering ditanam, kayu mungkin tersedia selamanya," tutur Souza.
Regenerasi hutan dibutuhkan
Dia menyebut bahwa pada saat tanaman melakukan fotosintesis, mereka menghilangkan CO2 dari atmosfer dan menyimpannya di dalam kayu.
Inilah yang disebutnya sebagai "penyerapan karbon". Sehingga tingkat sekuestrasi lebih tinggi selama periode awal pertumbuhan tanaman.
Karenanya menanam hutan adalah cara yang berkelanjutan untuk mengurangi efek rumah kaca, bahkan lebih maksimal dari hutan yang sudah tua.
"Jelas hutan yang baru ditebang kemudian ditanam ini dapat menjaga keutuhan hutan tua, terutama untuk menjaga keseimbangan ekologi," kata Souza.
Selain itu, pengelolaan hutan aktif, atau penipisan hutan juga dapat mengurangi kebakaran hutan, mengurangi emisi karbon, mengisi kembali saluran air di daerah tersebut, memperluas habitat satwa liar, dan menciptakan lapangan kerja di daerah pedesaan.
Tekan emisi gas rumah kaca
Eduardo menjelaskan, ciri positif lain dari kayu adalah rendahnya jumlah energi yang terkandung, yang mengacu pada jumlah total emisi gas rumah kaca yang dikaitkan dengan suatu bahan sepanjang siklus hidupnya.
Tidak seperti baja atau beton, misalnya, kayu membutuhkan sedikit pemrosesan berbasis energi.
Dia menyebut, mengganti bahan bangunan lain dengan kayu dapat mengurangi 14 persen hingga 31 persen emisi karbon dioksida global dan 12 persen hingga 19 persen konsumsi bahan bakar fosil global.
Meski demikina, proses penebangan kayu membutuhkan perhatian. Jika hutan ditebang lebih cepat dari pada pohon baru, ada kemungkinan nyata bahwa dunia akan menghadapi kekurangan kayu yang cukup parah.
Sebagai arsitek, penting untuk melakukan penelitian terperinci tentang sumber semua bahan yang digunakan.
"Perancang harus menjadi orang pertama yang menyadari bahwa tidak hanya kualitas dan biaya bahan yang penting, tetapi juga dari mana asalnya dan bagaimana bahan tersebut diekstraksi," ungkapnya.
Keunggulan lain dari kayu adalah banyaknya jenis kayu yang dapat digunakan kembali jika diperoleh kembali dan dipisahkan dari limbah lainnya.
Limbah lainnya juga dapat dikumpulkan dan digunakan untuk membuat papan partikel dan produk kayu komposit modern lainnya.
https://properti.kompas.com/read/2020/12/08/163259021/kayu-masa-depan-konstruksi-yang-berkelanjutan