JAKARTA, KOMPAS.com - Manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan beradaptasi menjadi kunci utama dalam bertahan hidup, terlebih di tengah pandemi.
Pandemi Covid-19 yang masih belum sepenuhnya berakhir, dianggap sebagai salah satu pandemi yang mencetak sejarah dan kebiasaan baru.
Manusia pun dipaksa harus dapat beradaptasi dan hidup berdampingan dengan pandemi. Termasuk dalam memenuhi kebutuhan tempat tinggal.
Fenomena itulah yang mendorong sejumlah arsitek yang tergabung dalam Komite Architects Regional Council Asia (Arcasia), Arsitek Muda (ACYA), dan Forum Arsitek Muda Yogyakarta (YYAF), menggelar kompetisi desain.
Tema dari ACYA-YYAF #WFH Workshop 2020 adalah mendesain rumah impian yang merespon situasi pandemi.
Kompetisi ini terbuka untuk para arsitek di bawah usia 41 dari negara-negara anggota Arcasia.
Dari 186 karya desain yang masuk dan telah dinilai oleh beberapa juri mancanegara, finalis terbaik pertama diraih Vinsensius Gilrandy Santoso dan Sri Rahma Apriliyanthi dengan karya berjudul Atidesa.
Kedua arsitek yang masih berusia 24 tahun ini mengaku tidak menyangka telah menjadi finalis terbaik pertama dari 186 desain karya arsitek dari 10 negara di Asia.
Hal ini karena karya desain dari berbagai negara lain juga memiliki keunikan dan kelebihannya masing-masing.
"Kami tidak menyangka atas penghargaan ini, desain ini bahkan kami buat dalam waktu 10 hari menjelang penutupan sayembara. Pembuatannya pun secara virtual karena kami berdua terpisah jarak jauh, saya di Solo dan Sri di Bandung," tuturnya kepada Kompas.com, Kamis (28/5/2020).
Nama Atidesa berasal dari frasa bahasa Indonesia hati desa yang secara harfiah berarti "jantung desa".
Vinsenius menjelaskan, desain rumah bertipe 54 meter persegi ini berada di lahan seluas 300 meter persegi.
Terbagi dalam empat zona yakni zona rumah inti, lumbung makanan, taman biotope atau kebun, serta lahan kosong.
Empat zona ini dibuat berdasarkan kebutuhan dasar manusia untuk berdikari, mandiri, dan saling gotong royong.
Atidesa dirancang untuk mengakomodasi pasangan muda dalam situasi pasca-pandemi saat berinteraksi dengan lingkungan mereka.
Konsep rumah tumbuh disebut dapat digunakan kembali untuk pembangunan ruang isolasi atau ruangan lain sesuai kebutuhan pemilik hunian.
Fitur gudang makanan atau lumbung juga mendukung prinsip-prinsip permakultur dan konsep ekonomi melingkar.
Kehadiran lumbung makanan ini memastikan stabilitas ekonomi pasangan dan memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari mereka, serta lingkungan secara mandiri.
Selain mengutamakan sikap ''berdikari" untuk bertahan hidup secara mandiri, tim ini juga mempertimbangkan kesehatan mental para keluarga yang menggunakan desain Atidesa.
Untuk memastikan kesejahteraan mental dan fisik pasangan, ada taman di rumah yang juga menyaring air hujan sebelum diproses untuk digunakan di gudang atau dikirim ke drainase.
Uniknya, pada rumah Atidesa ini juga terdapat ruang berolahraga dan hidup sehat seperti tersedianya jaring-jaring, sirkulasi udara yang baik, cahaya matahari yang cukup.
"Desain ini membuktikan bahwa ilmu arsitektur juga mampu mewadahi orang untuk bisa berolahraga, bukan hanya menciptakan ruang gym, tapi ternyata dengan memberikan mezanine dan alat gantung untuk bergelantungan, atau jaring-jaring yang juga bisa memberikan ruang latihan untuk manusia," tuntas Vinsensius.
Atidesa mengalahkan karya desain lainnya dari Malaysia, India, dan Filipina.
Sebagai pemenang kedua, terpilih karya berjudul Spacey Flex House oleh Veronica Tan Yen Ching dari Malaysia.
Sementara juara ketiga yakni peserta yang berasal dari India bernama Adish Patni dengan karyanya yang berjudul House Humane.
Juara keempat Rien Tan Kwon Chong dan Howie Lam Chee Hau dengan karya yang berjudul Wanderlust. Mereka berasal dari Malaysia.
Kelima terbaik diraih oleh peserta dari Filipina bernama Jerica Rivera dan Almer Viado dengan karyanya yang berjudul Rumah Terrasafe.
https://properti.kompas.com/read/2020/05/28/181433021/atidesa-rumah-pandemi-karya-arsitek-indonesia-terbaik-di-asia