Sejarah peradaban dunia sedang menyaksikan fenomena urban terbesar sepanjang sejarah. Kita terhenyak melihat Paus Fransiskus berjalan di jalanan yang begitu sepi pusat kota Roma, berdoa untuk berakhirnya pandemik ini di gereja Santo Marcelo.
Di depan salib yang pernah diarak keliling Roma pada saat pademi menimpa Roma tahun 1522.
Suasana mencekam sama juga terlihat di Paris, Copenhagen, Wuhan, Singapura, dan banyak lagi.
Sambil menyimak gawai kita, pandemi global mulai mencapai 175.000 dengan korban terus meningkat di 110 negara.
Perkotaan dunia pun bergulat dengan tarik ulur kebijakan guna mengalahkan puncak statistik agar menjadi lebih landai.
International Society of Urban and Regional Planners (ISOCARP) sudah menengarai kedaruratan kota-kota dunia, dengan pengalaman SARS berdampak 12 sampai 18 miliar dollar AS hanya dari sektor pariwisata dan ritel.
Outbreak virus Zika berdampak 7-18 miliar dollar AS, sementara Ebola menyebabkan kerugian 2.2 miliar dollar AS GDP di 3 negara Guinea, Liberia dan Sierra Leone.
Kerentanan pusat-pusat perkotaan atas pandemik memerlukan koordinasi kuat antara masyarakat dan pemerintahnya.
Baik pemerintah kota, provinsi, negara atau antar negara perlu membangun komunikasi antar pemangku kepentingan, dalam meningkatkan ketahanan kita.
Perkotaan sebagai teritori pintar (intelligent territory) seperti yang dicanangkan sahabat saya pemikir kota Alfonso Vegara, adalah pusat pengetahuan praktis dan empiris.
Dan saya meyakini kota menjadi garda depan saksi dunia apakah kita berhasil atau gagal menjinakkan epidemi ini.
Warga kota sebagai subyek utama, saat ini sudah memiliki kewarganegaraan tunggal, yakni sebagai “netcitizen”.
Profil kependudukan netcitizen ini bila digambarkan, akan berbentuk piramida sempurna dengan puncak tipis diisi kaum gap-tek (gagap teknologi) alias renta secara kemampuan aplikatif teknologi seperti saya.
Ketika dengan tergagap-gagap para pimpinan negara dan manajer kota melakukan pembatasan maksimum akses ke kota dan social distancing, peperangan kota bermigrasi otomatis ke ruang-ruang privat digital.
Tak terelakkan, banyak pula yang memanfaatkan untuk menggapai supremasi kekuasaan pseudo-intelectual di antara para warga yang bisa sangat kritis ini.
Timbul-lah format deliniasi wilayah baru seperti layaknya sebuah kelurahan di situ. Kota Baru ini memiliki teritori non-cadaster.
Di situ ada Kelurahan Alumni ITB, Kelurahan SMA Badnung, Masa Kecil Badnung, Alumni SD Kuala Lumpur, Tim Pasukan-Pramuka. Ada juga whatsapp group (WAG) Senior. Namun sejatinya, kita tetap dapat memetakan mereka atas locus specific di muka bumi.
Pada gawai pintar saya saja, sebagai yang termasuk dalam kelompok renta teknologi ini, ada 100-an WAG, di luar kelompok untuk pekerjaan kantor. Itu sama dengan perwilayahan 100 kelurahan, yang notabene sebesar kota!
Semua warga, termasuk ada para cerdik pandai di salah satu WAG yang saya ikuti, mendadak menjadi super intelek, juga terjadi kesamaan arena berjuang, dengan beragam fokus perjuangan mulai dari ideologi, pemikiran baru, sampai tautan berbasis SARA.
Ya, ruang kota menjadi semakin oportunistik. Dan kota semakin berbasis permintaan instan (ubiquitous) atau on-demand.
Augmented reality bertabrakan dengan formalitas sektoral. Banyak pelajaran bagi para perencana dan manajemen kota.
Perlu kebijakan perencanaan yang visioner, progresif dan "tanggap disrupsi", untuk menghindar dari risiko akibat perubahan masyarakat urbanis yang terus berevolusi.
Jakarta pun kemarin mengalami pahitnya berhujan-hujanan mengantre kendaraan umum yang dibatasi jam dan jumlah operasinya, walau bisa dinormalkan setelah sehari.
Gobal pandemic tidak bisa dianggap enteng, kata Direktur Jenderal WHO Dr Thedros Adhanom Ghebreyes saat mengumumkan Covid-19 sebagai pandemik.
Ini adalah urusan semua orang. Negara harus seimbang dalam menyusun kebijakan, meminimalkan disrupsi ekonomi dari pandemik, dan menghargai hak azasi warga.
Ketika pengetatan aturan jarak sosial diberlakukan, kota dalam gawai pun berubah. Seluruh urusan, bahkan keutuhan ekonomi dan bisnis tiba-tiba ada di genggaman tangan, di ujung jari.
Mari menjaga kota kita untuk memiliki daya tahan terhadap pandemik, melandaikan kurvanya, dan menjadi warga kota yang berperan aktif membangun kepatutan publik (public decency), kepatuhan dan kesetiakawanan sosial.
Kota-kota Indonesia masih berjuang melandaikan kurva.
Saatnya warga bahu membahu bersama pemimpinnya untuk mencegah spike di kurva mematikan itu.
Bagi warga yang menjalani work from home, ketikkan jari anda untuk mengubah dunia!
https://properti.kompas.com/read/2020/03/17/170000721/kota-baru-gawai-dan-kepatuhan-publik