Menurut riset Savills Indonesia, pariwisata Bali yang tumbuh 10,2 persen dalam kurun 2009-2019 akan mengalami penurunan karena wabah corona.
Hal ini menyusul larangan Pemerintah terhadap penerbangan dari China masuk ke Indonesia. Padahal, kontribusi kunjungan turis Negeri Tirai Bambu itu teramsuk terbesar bersama Australia.
Sejak 2017 China merupakan pasar utama untuk Bali dengan porsi mencapai 20 persen dari total jumlah wisatawan. Bahkan, pada 2018 kedatangan turis China ke Bali mencapai puncaknya.
Dinas Pariwisata Bali mengatakan, pelarangan penerbangan ini mengakibatkan potensi kerugian sebesar Rp 1 triliun per bulan terhitung sejak Maret 2020.
Savills Indonesia mencatat, kedatangan turis China membuat laju pertumbuhan majemuk tahunan atau compound annual growth rate (CAGR) sepanjang 2010-2018 sebesar 27,4 persen, meskipun menunjukkan penurunan sebesar 13 persen pada 2019.
Selama delapan tahun terakhir, kunjungan wisatawan China berdampak positif pada pertumbuhan hunian hotel di Bali.
Namun ini tidak terjadi pada pada pertumbuhan tarif rerata harian atau average daily rate (ADR).
Bali Hotel Association melaporkan, rerata lama menginap wisatawan China adalah empat hingga lima hari.
Sementara turis Australia, Amerika, dan Eropa rerata mengunap selama dua minggu hingga empat minggu.
Oleh karenanya, wisatawan Australia, Amerika, dan Eropa lebih memberikan kontribusi pada ekonomi di sektor pariwisata Bali.
Hal ini menunjukkan, pariwisata Bali berpeluang untuk kembali dan menargetkan wisatawan dari tempat lain.
Selain itu, Bali juga bisa lebih fokus dalam kekuatan belanja dibandingkan dengan volume pengunjung.
Dengan mendiversifikasi sumber-sumber perjalanannya, Bali pada akhirnya akan menikmati keuntungan yang lebih tinggi begitu pariwisata melambung.
https://properti.kompas.com/read/2020/03/12/170000421/kunjungan-turis-anjlok-karena-corona-bali-harus-manfaatkan-cara-lain