Sebab, letak hunian tersebut yang jauh dari pusat keramaian dan kegiatan perekonomian, menimbulkan persoalan baru serta menjadi pertimbangan bagi masyarakat yang bekerja di pusat kota untuk membelinya.
"Ada banyak hal yang dikorbankan, baik itu dari sisi waktu, waktu berkumpul dengan keluarga. Dan juga human cost, biaya kesehatan, karena ini terkait polusi dan itu mempengaruhi kesehatan kita," kata Lee dalam sebuah diskusi di Kementerian PUPR, Rabu (14/8/2019).
Menurut dia, ada tiga solusi yang bisa dilakukan pemerintah agar program penyediaan rumah subsidi yang menjadi bagian dari Program Sejuta Rumah (PSR) dapat berjalan lebih optimal.
Pertama, aspek penyediaan lahan di tengah kota. Pesatnya laju urbanisasi membuat jumlah penduduk yang tinggal di kota-kota besar semakin banyak. Imbasnya, jumlah lahan yang bisa dimanfaatkan sebagai lokasi hunian kian terbatas.
"Masalah ini bukan hanya dialami Indonesia, tetapi juga negara lain. Penyediaan lahan ini merupakan masalah yang rumit," ungkapnya.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah dapat memaksimalkan lahan negara.
Namun dalam pembangunannya, sektor swasta dapat digandeng dengan skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU).
"Di sini kita butuh suatu iklim kebijakan yang mendorong PPP (Public Private Partnership) agar bisa diimplementasikan secara efektif dan efisien," cetus Marcus.
Kedua, pemerintah dapat menawarkan kerangka kerja sama yang saling menguntungkan. Untuk bisa merumuskan hal ini, pemerintah perlu berkomunikasi dengan swasta tentang kerja sama yang bisa diljalankan bersama.
Terakhir, terkait pendanaan, ia menyebut, Bank Dunia siap membantu Pemerintah Indonesia.
Namun demikian, ada baiknya bila pemerintah memaksimalkan seluruh potensi yang ada di dalam negeri untuk pelaksanaan pembiayaan.
"Hal itu aga kita bisa memiliki peluang pembiayaan yang lebih baik," tuntas Marcus.
https://properti.kompas.com/read/2019/08/14/161710621/tiga-solusi-bank-dunia-pecahkan-masalah-rumah-murah