Dari sederet nama-nama tersebut terselip seorang arsitek kelahiran Semarang, Liem Bwan Tjie, yang karyanya banyak tersebar di seluruh penjuru negeri.
"Arsitek pertama Tionghoa yang belajar arsitektur di Belanda, hasilnya karya perpaduan Eropa dan China," ujar dosen Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Adrian Perkasa kepada Kompas.com, Selasa (29/1/2019).
Liem Bwan Tjie merupakan arsitek modern generasi pertama di Indonesia. Dia dilahirkan di Semarang pada tanggal 6 September 1891, dari keluarga Tionghoa generasi keempat yang tinggal di Hindia Belanda waktu itu.
Karena situasi yang terus berubah, pada waktu itu banyak orang berlomba-lomba untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, tak terkecuali keluarga Liem.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di kota kelahiran, Liem Bwan Tjie pun hijrah ke Belanda pada 1910.
Di sana, anak kelima dari seorang pedagang tekstil di Gang Warung ini menempuh pendidikan di Middelbaare Technischeschool atau setara sekolah teknik menengah di Belanda. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Delft pada 1920.
Handinoto dalam Liem Bwan Tjie, Arsitek Modern Generasi Pertama Di Indonesia (1891-1966), yang dipublikasikan di jurnal Dimensi pada 2004 menulis, sejak tahun 1916, Liem sudah bekerja di kantor arsitek terkenal seperti B.J Oundag, Michale de Klerk, Gulden en Geldmaker, dan Ed Cuypers di Amsterdam.
Dari Semarang, Liem kemudian pindah ke Jakarta pada 1938. Kepindahannya ke ibu kota membawanya pada puncak karir, apalagi setelah banyak posisi arsitek kosong karena ditinggal orang Belanda.
Kekosongan ini dimanfaatkan dengan baik olehnya. Selain merancang rumah tinggal, Liem juga menunjukkan paham arsitektur modern dengan mendesain gedung fasilitas umum.
"Bersama dengan dengannya rekan-rekannya yang lebih muda waktu itu seperti Silaban, Suyudi, Suhamir, dan lain-lainnya, Liem, bisa disebut sebagai arsitek modern generasi pertama di Indonesia setelah kemerdekaan," tulis Handinoto.
Bentuk rumah yang dirancang oleh Liem mengadopsi langgam arsitektur modern. Mayoritas rumah hasil rancangannya menerapkan denah-denah terbuka alias open space dan continous space.
Liem juga piawai dalam menggabungkan arsitektur modern ala barat namun tetap memasukkan ragam hias dan unsur Tionghoa dalam rancangannya.
Hal ini membuatnya dipandang sebagai salah satu arsitek modern pada zamannya, di luar arsitek Belanda.
Dari daftar awal karya Liem, sebagian besar merupakan rumah mewah orang Tionghoa, seperti rumah tinggal Sih Tiauw Hien, Semarang (1930), villa Oei Tjong Houw, Kopeng (1931).
Ada pula rumah tinggal Tan Tjong Ie, Semarang (1931), rumah tinggal Ir. Be Kian Tjong, Semarang (1931), dan rumah Dr. Ir. Han Tiauw Tjong, Semarang (1931).
Dia juga merancang kantor pusat serta cabang-cabang dari perusahaan konglomerat, Oei Tiong Ham Concern.
Selain rumah tinggal, Liem juga merancang gedung fasilitas umum seperti Monumen Makam Peringatan (Grafmonumenten) H.A. Kan, Jakarta, Bank Indonesia, Jalan Thamrin, Jakarta, Stadion Ikada, hingga Stadion Teladan di Medan.
Salah satu pendiri IAI
Nama Liem Bwan Tjie juga tidak dapat dilepaskan dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), organisasi yang menaungi profesi arsitek di negeri ini.
Mengutip situs IAI, kediaman Liem di Jalan Wastukancana, menjadi tempat pertemuan awal arsitek-arsitek senior Indonesia, Liem Bwan Tjie, Frederich Silaban, Mohammad Soesilo dengan 18 arsitek muda lulusan pertama ITB tahun 1958.
Pertemuan inilah yang merupakan tonggak sejarah lahirnya Ikatan Arsitek Indonesia pada 17 September 1959.
https://properti.kompas.com/read/2019/01/30/080000821/liem-bwan-tjie-tionghoa-pelopor-arsitektur-modern-indonesia