Para arsitek dan desainer yang berdomisili di Bintaro dan membuka firmanya di kawasan itu mendeklarasikan karya bersama itu sebagai ajang Bintaro Design District (BBD) 2018. Mereka saling berbagi peran, membuka seluas-luasnya aktivitas proses kreatifnya di studio untuk diketahui oleh masyarakat umum.
Mereka juga mempresentasikan pameran-pameran, memancing pengetahuan-pengetahuan desain dengan menghelat diskusi atau workshop.
Selanjutnya, membangun instalasi di lahan yang kurang produktif atau didirikan di taman kota agar masyarakat mengalami secara fisik personal, sampai upaya mengajaknya berefleksi secara komunal.
Adalah hal lumrah jika para arsitek juga desainer, baik grafis, produk, atau interior, mencipta dan merespons ajakan mitra kerjanya bagi kepentingan dunia industri. Tapi, apa jadinya jika mereka diundang para kurator BBD untuk berkolaborasi, dipancing membebaskan dirinya berkreasi?
Tak hanya di satu ruang khusus, namun tersebar di 42 situs, dari Sektor 2 sampai Sektor 9 di Bintaro dengan sekitar 74 partisipan. Hasilnya, banyak keluasan mengekspresikan kepekaan mengkreasi bentuk, merespons ruang-ruang terunik sampai tentunya ini: imajinasi liar dan tak terduga, yang bahkan menyentuh rasa.
Dari seniman, produser film serta pembuat aplikasi daring, selain tentu saja desainer-desainer dan arsitek berkolaborasi pada 11 sampai 20 Oktober ini.
Inisiatif awal digagas oleh kurator dan pendiri event BBD ini, yakni Budi Pradono, dari firma Budi Pradono Architect (BPA). Seterusnya disambut oleh Andra Matin dari Andra Matin Architect, setelah itu gayung disambut oleh Dany Wicaksono dari firma Studio Dasar.
Apresiasi layak disampaikan pada mereka, tatkala masing –masing kurator dan para profesional ini bersepakat BDD esensinya adalah sebuah gerakan kemandirian, yang menimbang atas peristiwa sejenis di pusat-pusat desain dunia.
Dimulai dari distrik-distrik, kawasan-kawasan para kreator dan desainer bekerja dan mendirikan biro desainnya untuk terhubung, berakar dari bawah, mencetuskan konsep-konsep seefektif dan sekuat mungkin untuk tujuan-tujuan bersama.
Kita menyaksikan, mereka berkolaborasi dalam event BBD ini di Jakarta Selatan, Bintaro dengan sebenar-benarnya.
Seperti dikatakan oleh Profesor Gunawan Tjahjono, Guru Besar Ilmu Arsitektur Universitas Indonesia dalam satu kesempatan ketika berkunjung ke BBD, bahwa sepatutnya para arsitek dan desainer itu meruntuhkan tembok ego sektoralnya. Mengaca pada sejarah peradaban manusia yang mampu terus survival asalkan berkerja bersama.
Konsep itu diambil dari bahasa latin kuno, permeabilis yang ditranslasikan bebas sebagai suatu zat yang bisa ditembus.
Dalam konteks sosiologis, para desainer itu hendak membangun jembatan psikologis secara struktural, menyambangi publik yang teresklusi oleh sekat-sekat dan keniscayaan modernitas.
Masyarakat yang terkotak-kotak secara identitas dan politis, dengan daya kompetitif mengkristal mencipta yang terbaik namun untuk diri dan kelompoknya saja.
Sementara, distrik Bintaro adalah sebuah kompleks hunian yang digagas dulunya cair, terkoneksi dengan beberapa kampung. Permeable society, menggugah makna bahwa karya-karya desain dan desainer serta arsitek-arsitek seperti tak berjarak, ramah dan tidak teralienasi.
Sepertinya peristiwa ini tidak hanya sebuah event kreatif, namun peristiwa budaya, mengekskalasi suara-suara masyarakat kelas menegah untuk bersikap kritis di ruang-ruang kota.
Sebagai yang dikatakan berkali-kali pada penulis, Kurator BBD, Budi Pradono meyatakan bahwa konsep kuratorial BBD tersebut juga mengarah pada peran para arsitek serta desainer mengkritisi gejala gated community, yang makin menguat di kota-kota mandiri di sekeliling Jakarta.
Gated community yakni komunitas berpagar, suatu kawasan pemukim yang sangat individualistis, dengan ciri pengamanan lingkungan dalam bentuk fisik, seperti penggunaan portal, pagar keliling, satpam, dan kamera CCTV.
Bersambung ke halaman berikutnya: Karya di Studio, Instalasi, Shelter Reflektif, dan Seni
Karya di Studio, Instalasi, Shelter Reflektif, dan Seni
Event BBD semarak dengan instalasi indoor dan juga outdoor, selain pameran maket arsitektural, instalasi besar menyerupai kubus raksasa yang “membungkus” studio sekaligus eksibisi kolaboratif interdisiplin seperti di BPA studio.
Desain-desain produk dan interior di firma masing-masing di Bintaro juga ditampilkan sedemikian rupa dengan unik, bahkan di sebuah ruang khusus dengan tekhnologi 3D virtual design seperti dipresentasikan cukup apik oleh Dellution.
Selain itu, sebuah kedai kopi mungil dan modern, milik Andra Matin, Kopi Manyar, menjadi pembuka acara BBD dengan pameran-pameran maket arsitektural, video pendek wawancara 10 figur kreatif yang berdomisili di Bintaro sampai produk desain-desain yang elegan.
Hal yang menarik adalah melihat gagasan-gagasan anyar ditebarkan, di lahan luar ruang yang tidak produktif, lokasi cukup dekat dari pemukiman warga untuk hangout, sekadar mengopi sambil mendengar musik, tapi cukup efektif pula ada lahan untuk menanam tanaman-tanaman hidroponik yang dikonsumsi warga di tengah perkotaan.
Urban farming tersebut diinisiasi oleh kolaborasi Kebun Ide, dari bergabungnya produser film Handoko Hendroyono, Kris Kwan, serta seniman kolektif street art, Gardu House, serta pihak-pihak lainnya.
Sementara, instalasinya yang membentuk huruf U dengan gerbang unik, bertabur warna-warna mencolok, khas seni jalanan dan kita segera mengenali di dindingnya tergambar figur tokoh-tokoh Jazz dunia.
Handoko mengaku, instalasi ini dibuat di awal tahun ini dalam sebuah pergelaran musik Jazz internasional dan dimanfaatkan ulang sebagai semacam hub untuk orang-orang kreatif bertemu dan berbagi ide.
Selokasi dengan Kebun Ide ada karya instalasi lain, instalasi botol-botol plastik. Digagas oleh Arcadia Architects dan Studio Hand yang peduli pada sampah plastik tak hanya di kota saja, namun prihatin ancaman serius limbah plastik di seluruh Indonesia.
Negeri kita menyumbang 3,22 juta metrik ton sampah plastik per tahun di perairan dunia, hanya kalah oleh China, dengan reputasi jeleknya dengan 8,82 juta metrik ton per tahun sampah plastik.
Arcadia dan Studio Hand rupanya memampangkan data itu, yang menggedor kesadaran, bahwa mereka hendak menyuarakan perlunya mereduksi, atau malahan mendaur ulang limbah plastik, seperti dicontohkan di ruang dalam instalasi tersebut dengan bentuk kursi-kursi plastik hasil daur ulang.
Tak cukup elok memang, secara bentuk, namun segera manfaatnya jauh lebih besar mengingat data lainnya yang meneror kondisi ekologi bumi itu.
Kita beranjak di instalasi menyerupai shelter yang memikat sekarang. Karya reflektif milik kolaborasi tiga studio kreatif: SOSJ, Bitte dan Antikode.
Ketiganya, yang diinisiasi anak-anak muda berusia 20-an akhir sampai 30-an awal, menggagas “ruang merenung” di tengah-tengah kawasan Bintaro yang padat dan bising. Mereka meriset di beberapa titik situs yang dikatakan paling kritis dari prototipe awal yang sedang dibangun itu di kompleks studio mereka di Sektor 7 Bintaro.
Salah satu elemen penting dari seluruh kota metropolis di dunia adalah tingkat tekanan kompetitif di ruang kerja, kemacetan lalu-lintas, harga-harga produk konsumsi yang melambung tinggi, kesenjangan sosial, dan kepadatan populasi yang rentan terhadap kesehatan mental.
Depresi mengakibatkan rendahnya angka produktivitas, dan ketiga studio kreatif itu menemukan solusi jenial: membuat jeda sejenak warga dari rutinitas keseharian.
Warga bisa rehat di shelter tersebut, dekat dengan pepohonan yang di-install di dalamnya, sekaligus mendengarkan suara-suara natural dari headphone yang tersedia melantunkan suara gemericik air, ombak bergulung, angin yang seolah menembus pori-pori kulit dan atmosfer malam hari di pedesaan yang kuping terasa tergetar suara bambu bergesekan yang ditingkahi cengkerik di kejauhan.
Sudah pasti, terik matahari, beban kerja, padatnya lalu lintas segera terkurang drastis usai kita keluar dari shelter tersebut.
Di ruang publik lain, di Jalan Boulevard Raya Bintaro, kita menemu instalasi kolaborasi Numo Studio dan J+A Design berupa jaring-jaring dan karya seni. Mereka beritikad mengaktifkan taman kota sebagai area yang fleksibel bagi warga bisa mencurahkan kebebasan kreatifnya.
Numo Studio diinisiasi oleh Nus Salomo, seorang perupa yang beberapa tahun terakhir berkarya dengan mesin-mesin cetak tiga dimensi.
Menurut Nus, kondisi ini merupakan tantangan terberat seniman meneghadapi hadirnya teknologi cetak hari ini. Menghilangkan peluang kerja manual para artisan pembuat citra tiga dimesional dengan mengefisienkanenergi, waktu dan biaya.
Karya seniman lainnya, kita berkunjung ke Dedato Office and Artspace. Bertemu dengan Putri Taufik, seorang perupa dan pelukis, anak perempuan pemilik firma desain dan arsitek senior, Taufik Ibrahim.
Putri menafsirkan konsep utama event BBD dengan tajuk pameran solonya di studio merangkap galeri seni itu dengan menginternalisasi pengalaman personalnya tentang ‘tatkala saya menimbang segalanya yang tumbuh’.
Putri membuat sejumlah lukisan, patung-patung instalatif seolah organisme hidup, menyerupai belalai raksasa, objek-objek yang terkesan lunak, yang biasa disebut sebagai biomorphic forms.
Karya-karya Putri mengingatkan kita, ke unsur azali dalam semesta ini, yakni: eros. Dalam perspektif yang positif, eros adalah energi kesuburan, empati yang kuat memberi dan melindungi; berkembang biak tak henti.
Semoga saja, inspirasi dari karya Putri itu sejalan dengan event Bintaro Design District (BBD) agar terus berbagi yang tak usai dihelat hanya tahun ini.
https://properti.kompas.com/read/2018/10/20/220412421/bintaro-design-district-inisiatif-desainer-dan-arsitek-berbagi-bersama